Uji Materiil UU PWP3K

Uji Materiil UU PWP3K, Warga Wawonii Ajukan Diri Sebagai Pihak Terkait

Warga Pulau Wawonii dan koalisi masyarakat sipilmengajukan permohonan ke MK sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materiil PT GKP.

Featured-Image
Warga Pulau Wawonii dan koalisi masyarakat sipilmengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pihak terkait dalampermohonan uji materiil PT Gema Kreasi Perdana (GKP) atas Pasal 23 ayat (2) danPasal 35 huruf (k) dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PengelolaanWilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K). Foto: Trend Asia

bakabar.com, JAKARTA - Warga Pulau Wawonii dan koalisi masyarakat sipil
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materiil yang diajukan PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

Diketahui PT GKP melakukan uji materiil atas Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K).

Permohonan warga Pulau Wawonii itu merupakan upaya agar MK tidak mengabulkan permohonan judicial review PT GKP yang ingin melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil.

Juru Kampanye Trend Asia Arko Tarigan mengungkapkan, sejak 8 Agustus 2023 koalisi masyarakat sipil telah mengajukan permohonan informasi perkembangan Pemeriksaan Perkara dan/atau tahapan perkara Nomor: 35/PUU-XXI/2023 ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga: Laut Wawonii Keruh, KIARA: Lima Desa Terdampak Pertambangan Nikel

Namun hingga saat ini belum ada respons terkait permohonan informasi tersebut. Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil memantau perkembangan perkara melalui situs resmi MK dan menemukan informasi bahwa 9 Mei 2023 pukul 13.30 WIB terdapat agenda perbaikan permohonan kedua untuk pemohon (PT GKP).

"Namun, sampai tanggal 24 Agustus 2023 koalisi masyarakat sipil tidak mendapatkan jawaban perkembangan perkara oleh Mahkamah Konstitusi," papar Arko dalam keterangannya, Sabtu (25/8).

Menurut Arko, pada tanggal 30 Agustus 2023 atau 4 bulan setelah pemohon diminta untuk melakukan perbaikan, Mahkamah Konstitusi tetap akan melanjutkan persidangan.

Padahal perbaikan permohonan hanya diberikan waktu 14 hari kerja sebagaimana
diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga: Jatam Ungkap Jejak Kejahatan Lingkungan Harita Group di Obi dan Wawonii

"Ini menjadi suatu hal yang janggal, seharusnya Mahkamah Konstitusi sudah
membatalkan terkait uji materiil yang diajukan oleh PT GKP," tegasnya.

Ajukan uji materiil

PT GKP mengajukan uji materiil untuk beberapa pasal dalam UU PWP3K, sebab anak perusahaan Harita Group itu tak terima dengan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan judicial review warga Pulau Wawonii atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan yang menetapkan alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.

Dalam permohonan uji materiil tersebut, warga Wawonii berargumen bahwa Perda
No.2/2021 bertentangan dengan UU PWP3K yang melindungi pulau-pulau kecil dari
aktivitas pertambangan.

MA mengabulkan permohonan warga dan membatalkan beberapa pasal yang mengatur alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.

Baca Juga: Kado Akhir Tahun Warga Wawonii, Perda Nikel Konawe Dibatalkan!

Putusan MA tersebut menguatkan bahwa PT GKP tidak memiliki legitimasi untuk
melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe
Kepulauan – sebab pulau itu masuk dalam kategori pulau kecil karena memiliki luas
hanya 706 km². Sesuai dengan UU No.27/2007, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km².

Dalam permohonan judicial review-nya, PT GKP melayangkan pengubahan pada Pasal 35 huruf (k): "Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya."

Kata 'apabila' dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang
berdampak pada kerugian warga.

Juru Kampanye Trend Asia Wildan Siregar menjelaskan, permohonan uji materiil tersebut merupakan upaya perusahaan melegalkan aktivitas tambang di Pulau Wawonii, walaupun secara hukum pertambangan dilarang di pulau-pulau kecil.

Baca Juga: Masyarakat Obi Desak Pemerintah Tegas Kepada Grup Harita, Ada Apa?

“Pasal 35 dalam UU PWP3K memuat larangan atas kegiatan penambangan pasir, minyak gas, dan mineral karena kerentanan yang dimiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," paparnya.

Wildan menambahkan, "Aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii dan pulau-pulau kecil lainnya sudah seharusnya tidak dilakukan mengingat pulau-pulau kecil termasuk dalam wilayah yang rentan untuk kegiatan ekstraktif dan eksploitatif."

Jika permohonan PT GKP dikabulkan oleh MK, ujar Wildan,  maka aktivitas tambang tak hanya dilegalkan di Pulau Wawonii, tetapi seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Dengan demikian, kerusakan ekologis hingga konflik sosial akibat perusahaan tambang yang tidak menaati UU No.27/2007 akan semakin masif.

Baca Juga: Harita Nickel IPO, Masyarakat Pulau Obi: Lahan Kami Dicuri

Juru Kampanye Seknas KIARA Fikerman Saragih mengingatkan, seharusnya
Mahkamah Konstitusi menolak judicial review terhadap UU WP3K yang diajukan oleh PT GKP untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia dari cengkraman industri pertambangan.

"Dengan demikian, ada sinkronisasi produk hukum yang dihasilkan oleh MK dan MA untuk melindungi pulau-pulau kecil dari ancaman pertambangan," ungkapnya.

Mahkamah Konstitusi, kata Fikerman, seharusnya mengikuti langkah Mahkamah Agung dalam menyelamatkan pulau-pulau kecil dari ancaman industri pertambangan.

Mahkamah Agung dalam putusan No. 57P/HUM/2022 telah menyebutkan bahwa secara filosofis, Pulau Wawonii merupakan pulau yang rentan sehingga membutuhkan perlindungan khusus serta kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang harus dilarang dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup yang ada di Pulau Wawonii.

Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Pulau Obi, Grup Harita: Sama Sekali Tidak Benar

“Bahkan jika dilihat dari respons masyarakat Wawonii, mereka menolak masuknya PT GKP dalam ruang hidup mereka karena pertambangan mengancam keberlanjutan sumber-sumber penghidupan masyarakat maupun lingkungan," jelasnya.

Kehidupan masyarakat Wawonii, ungkap Fikerman, sudah sejahtera dan tidak ada konflik horizontal di internal masyarakat. Adapun pertambangan di Pulau Wawonii tidak sesuai dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat untuk mensejahterakan mereka.

Lingkungan tercemar

Kegiatan pertambangan PT GKP ditengarai telah mencemari lingkungan Pulau Wawonii. Terbukti tiga sumber mata air yang digunakan warga kini keruh bercampur dengan lumpur. Imbasnya warga tak lagi memiliki akses air bersih untuk aktivitas sehari-hari, seperti mandi, mencuci, hingga untuk dikonsumsi.

Sungai Roko-Roko yang dulu jernih kini menjadi kemerahan. Akibatnya ikan lompamea yang merupakan cadangan protein bagi warga Wawonii bahkan bahan pangan untuk pesta atau ritual adat, tak lagi ditemukan di sungai tersebut akibat sudah tercemar.

Baca Juga: Grup Harita (NCKL) Resmi Melantai di Bursa, Saham Dibuka Stagnan

Burung maleo bahkan penyu yang bertelur di daerah pesisir juga terancam hilang akibat perusahaan yang membangun jetty di habitat mereka.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat ada sekitar 1.000 jenis tumbuhan di Pulau Wawonii. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada sekitar 200 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pangan, papan, obat, hingga kosmetika. Beberapa di antaranya berupa, kepala, cokelat, cengkih, dan jambu mete.

Editor


Komentar
Banner
Banner