kerusakan lingkungan

Harita Nickel IPO, Masyarakat Pulau Obi: Lahan Kami Dicuri

Perwakilan masyarakat Pulau Obi, Maluku Utara menyerahkan laporan kepada BEI terkait kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan perusahan NCKL.

Featured-Image
masyarakat dari Pulau Obi, Maluku Utara bersama JATAM, EnterNusantara dan Trend Asia menggelar aksi komunikasi langsung di kantor Bursa Efek Indonesia(BEI), Rabu (12/4). (Foto: apahabar/Leni)

bakabar.com, JAKARTA - Perwakilan masyarakat Pulau Obi, Maluku Utara menyerahkan laporan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh Grup Harita PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL).

Laporan itu berisi fakta-fakta terkait operasional perusahaan Harita NCKL yang telah merusak sumber mata air dan pesisir laut Halmahera Selatan, termasuk ruang hidup warga.

Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil saat melakukan aksi di depan kantor BEI bersama dengan masyarakat Pulau Obi menjelaskan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.

"Lili Mangundap dan empat keluarga lain yang menjadi pemilik lahan di desa Kawasi dicuri lahannya oleh perusahaan," ujar Jamil, Rabu (12/4).

Baca Juga: Grup Harita (NCKL) Resmi Melantai di Bursa, Saham Dibuka Stagnan

NCKL yang merupakan bagian Grup Harita diduga mengoperasikan smelter pencucian asam bertekanan tinggi atau High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pulau Obi, Maluku Utara.

Dengan teknologi itu, perusahaan mampu memproduksi 60.000 ton nikel dalam setahun. Teknologi HPAL merupakan pengolahan dan pemurnian nikel limonit dengan melarutkannya dalam wadah bertekanan atau suhu tinggi (autoclave) dan selanjutnya dilakukan proses ekstraksi dari larutan konsentrat untuk mendapat mineral yang lebih murni, yaitu nikel dan kobalt.

Menurut Jamil, perusahaan yang berada dibawah naungan Grup Harita itu telah meluluhlantakkan wilayah daratan, lahan perkebunan warga, hingga mencemari sumber air, air sungai, dan wilayah laut.

Harita juga dianggap ikut mencemari udara akibat debu dan polusi yang berdampak bagi kesehatan warga. Hal itu telah memicu konflik sosial akibat intimidasi dan kekerasan berulang terhadap warga yang berupaya mempertahankan tanah dan ruang hidupnya.

Baca Juga: Harita Nickel Bantah JATAM Terkait Kerusakan Lingkungan di Pulau Obi

PT Trimegah Bangun Persada Tbk bersama sejumlah perusahaan lain milik Harita Group, menurut Jamil telah melakukan pencaplokan lahan warga secara sepihak tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil.

Lanjut Jamil, perusahaan dan pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan juga berencana merelokasi warga Kawasi ke Perumahan Eco Village yang lokasinya 5 kilometer ke arah selatan dari Desa Kawasi.

"Bagi warga, relokasi ini telah menyingkirkan mereka dari rumah, tetapi juga mencerabut nilai budaya dan historis warga. Tak hanya itu, warga juga tersingkir dari sumber kehidupan mereka seperti hak atas tanah," imbuh Jamil.

Situasi semakin buruk ketika operasional pertambangan Grup Harita mengakibatkan sumber air warga Kawasi tercemar dan sedimentasi ore nikel sisa dari operasional perusahaan melingkupi wilayah mereka.

Baca Juga: Jatam Ungkap Jejak Kejahatan Lingkungan Harita Group di Obi dan Wawonii

"Kejinya, sebelum tambang masuk dan beroperasi, warga bisa mendapatkan air secara gratis, tapi kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih," ungkapnya.

Kondisi demikian semakin menyulitkan warga untuk bertahan hidup, karena secara ekonomi kehidupan mereka sangat pas-pasan. Warga terpaksa mengkonsumsi sumber air yang telah tercemar. 

Bahkan, kata Jamil, perusahaan milik Harita diduga kuat telah membuang limbahnya ke sungai dan mengalir ke laut. "Hal itu menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh kecoklatan. Ekosistem laut di Pulau Obi rusak akibat pipa limbah yang mengarah ke laut," ungkapnya.

Dampaknya, ikan yang selama ini dikonsumsi warga diduga tercemar logam berat. Selain pencemaran di laut, aktivitas perusahaan yang dekat dengan permukiman telah mengakibatkan warga harus berhadapan dengan debu, kebisingan, dan lingkungan yang kotor.

Baca Juga: Gurita Harita Group, Jatam: Hentikan Investasi dan Tegakkan Hukum

Parahnya, pada musim kemarau, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga kamar dipenuhi debu akibat aktivitas perusahaan dan debu batu bara.

Berdasarkan informasi dari warga dan petugas di Polindes Kawasi, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menjadi masalah kesehatan yang paling banyak ditemukan. Kebanyakan penderitanya adalah balita. 

Tercatat sebanyak 124 bayi berusia 0-1 tahun telah mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Berikutnya balita umur 1-5 tahun sebanyak 283 orang, menyusul kelompok usia 20-44 tahun 179 orang.

"Selain membawa masalah kesehatan, operasional Harita Group juga mengabaikan aspek K3 dari pekerjanya," ungkap Jamil.

Baca Juga: Aktivis Lingkungan Temukan Ribuan Ikan Mati di Sungai Cileungsi

Sepanjang tahun 2022, sektor pertambangan dan pengolahan mineral mendominasi kecelakaan kerja di Maluku Utara, khususnya perusahaan milik Grup Harita.

Berdasarkan penelusuran Jatam, dalam rentang waktu 2019-2023 tercatat ada 8 kasus dengan 2 pekarja meninggal dunia dan 5 orang terluka. Fakta itu membantah klaim Harita yang mengatakan tidak ada korban jiwa akibat kecelakaan kerja.

Dalam operasional tambang nikel Grup Harita melalui PT Halmahera Persada Lygend (HPL) juga menggunakan PLTU batu bara untuk kegiatan operasionalnya.

Baca Juga: 7 Tips Menjadi Wisatawan Ramah Lingkungan

“Dengan segala kerusakan lingkungan dan sosial yang dibuat oleh Harita Group, perusahaan ini memiliki penjamin emisi yakni Credit Suisse Group, BNP Paribas, Citigroup, Mandiri Sekuritas, DBS, OCBS Securities, dan UOB Kay Hian," ungkap Jamil.

Enam penjamin emisi dari perusahaan Grup Harita, kecuali Mandiri Sekuritas, merupakan anggota Net-Zero Banking Alliance. "Kerja sama mereka dengan Harita telah mencederai komitmen GFANZ selaku pihak yang mendukung capaian target nol emisi dan transisi energi bersih yang berkeadilan," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner