Aktivitas Pertambangan

Masyarakat Obi Desak Pemerintah Tegas Kepada Grup Harita, Ada Apa?

Masyarakat Pulau Obi desak pemerintah memperketat pengawasan operasi tambang yang dilakukan PT Trimegah Bangun Persada.

Featured-Image
Sejumlah perwakilan masyarakat Pulau Obi menggelar aksi di depan kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bentuk protes terhadap Grup Harita yang dianggap telah merusak ruang hidup mereka. Foto: Jatam

bakabar.com, JAKARTA - Masyarakat Pulau Obi di Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara mendesak pemerintah agar memperketat pengawasan terhadap praktik operasi tambang yang dilakukan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL).

NCKL merupakan anak usaha Grup Harita yang mengoperasikan smelter pencucian asam bertekanan tinggi/ High Pressure Acid Leaching (HPAL) pertama di Pulau Obi, Maluku Utara.

"Misalnya pelanggaran yang dilakukan oleh Harita itu harus di tindak secara hukum, sesuai aturan Indonesia," kata Upi, salah satu anggota Front Perjuangan Rakyat Obi saat dihubungi bakabar.com, Sabtu (15/4).

Upi mencontohkan, "Misal ada pelanggaran perdata, harusnya pemerintah kita berpihak kepada apa yang menjadi aspirasi masyarakat di Pulau Obi." Hal itu, menurut Upi berkaitan dengan pencaplokan lahan warga secara sepihak tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil.

Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Pulau Obi, Grup Harita: Sama Sekali Tidak Benar

Hal lainnya terkait relokasi warga. Menurut Upi, wacana tersebut tidak pernah disosialisasikan dan minim pelibatan warga. Bahkan sejak awal, warga bertanya-tanya tentang kebijakan yang kurang dipahami tersebut.

"Soal rencana relokasi, sejak awal itu warga tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan soal relokasi masyarakat Pulau Obi," ungkapnya.

Kendati perusahaan mengeklaim telah menyiapkan perumahan yang layak untuk menggantikan perumahan warga yang terdampak relokasi tambang, hal itu dianggap tidak adil. Sepanjang pengetahuan Upi, warga Pulau Obi tidak mendapat kepastian terkait status lahan tersebut.

"Tidak ada kepastian soal permukiman yang dibangun oleh perusahaan, apakah itu statusnya lahannya milik warga atau hanya sebatas menumpang. Tidak pernah ada sosialisasi soal itu," tegasnya.

Baca Juga: Harita Nickel IPO, Masyarakat Pulau Obi: Lahan Kami Dicuri

Belum lagi, soal penyediaan permukiman oleh perusahaan, lagi-lagi tidak ada kejelasan dalam konsep ganti ruginya. Misal untuk ukuran ganti rugi detail besar rumah atau harga wajar rumah yang dimiliki oleh setiap warga.

"Maka ketika warga dipaksa pindah ke permukiman yang disediakan oleh perusahaan, apakah konsepsi pembangunannya sama atau tidak. Itu tidak ada kejelasan soal itu," ujarnya.

Upi bahkan bercerita tentang nasib puluhan warga terdampak relokasi yang sempat membawa kasus itu ke jalur hukum. Uniknya, selang beberapa waktu, kasus tersebut lenyap bak ditelan Bumi. Tidak diketahui bagaimana kelanjutan laporan warga.

Mereka yang kehilangan tanahnya adalah Lili Mangundap dan empat keluarga lainnya sebagai pemilik lahan di Desa Kawasi. Mereka telah kehilangan lahan akibat penguasaan yang dilakukan oleh perusahaan. Kini tanah mereka menjadi bagian dari areal PT Trimegah Bangun Persada Tbk.

Baca Juga: Grup Harita (NCKL) Resmi Melantai di Bursa, Saham Dibuka Stagnan

"Ditengah-tengah proses, kasus itu hilang begitu saja tidak dilanjutkan. Dari sisi pemberkasan saja sudah hilang itu, kasusnya itu, padahal warga sudah mengocek ratusan juta untuk mengurus kasus itu hingga ke pengadilan," ungkapnya.

Upi yang mewakili masyarakat terdampak relokasi mengaku kecewa atas sikap pemerintah yang terkesan justru berpihak kepada perusahaan. Ia berharap pemerintah bersedia mendengarkan keluh kesah masyarakat.

Kisruh relokasi bermula saat perusahaan dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan berencana merelokasi warga Kawasi ke Perumahan Eco-Village yang jaraknya 5Km dari permukiman awal.

Menurut Upi, relokasi tersebut tidak hanya sekedar menyingkirkan mereka dari rumah, tetapi telah mencerabut nilai budaya dan historis warga atas tanah. Tanah yang telah mereka diami secara turun-temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Baca Juga: Harita Nickel Bantah JATAM Terkait Kerusakan Lingkungan di Pulau Obi

"Tak hanya itu, warga juga tersingkir dari sumber kehidupan mereka seperti tanah, kebun dan laut," ungkapnya.

Untuk itu, masyarakat Pulau Obi mendesak pemerintah agar memperketat pengawasan dan mempertegas agar praktik-praktik tambang lebih memperhatikan nasib penduduk lokal, sebagai pihak yang terpinggirkan.

Selain itu, Upi meminta pihak perusahaan untuk mematuhi peraturan yang berlaku, utamanya terkait dengan masyarakat lokal yang mendiami kawasan tambang.

"Pemerintah agar lebih ketat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perusahan, terhadap kawasan atau pencemaran lingkungan yang menyusahkan masyarakat, harus ditindak pidana lingkungan," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner