Liputan Khusus

LIPSUS: Hipokrit Keluarga Jokowi

RUPA Jokowi dalam panggung dramaturgi politik tampak kontras. Sawala riuh di ruang publik seakan mencicil pemahaman masyarakat dengan rupa Jokowi dulu dan kini.

Featured-Image
Ilustrasi Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka. Foto: apahabar.com/Fahriadi Noer

RUPA Jokowi dalam panggung dramaturgi politik tampak kontras. Sawala riuh di ruang publik seakan mencicil pemahaman masyarakat dengan rupa Jokowi dulu dan kini.

Buah reformasi yang menelurkan demokrasi dirupakan dengan wajah Jokowi yang meronggeng dalam panggung politik nasional.

Namun rupa Jokowi kini berubah, atau mungkin menampakkan wajah aslinya. Prahara kisruh yang mengoyak demokrasi Indonesia melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin adik iparnya, Anwar Usman. Karpet merah bagi anak Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka bukan sekadar pepesan kosong.

Baca Juga: Jokowi Singgung Dinamika Politik: Akhir-akhir Ini Banyak Dramanya

Riuh rendah kata dan sikap politik yang dipamerkan Jokowi beserta anaknya di ruang publik memberi makna tentang suasana batin yang inkonsisten, hipokrit. Dulu berlakon lugu dengan kesederhanaan yang ogah mencicipi nikmatnya kekuasaan, kini justru terlihat ambisius bak politikus ulung.

Hipokrit keluarga Jokowi tak hanya memberikan sentuhan otoritarianisme dalam gegap gempita proses demokrasi yang dirayakan. Jokowi menebar ilusi demokrasi yang justru menjadi semburat pemaknaan baru tentang sistem di Indonesia.

Jokowi sukses membuat demokrasi Indonesia tak lagi menjadi the only game in town. Sebab Jokowi memainkan peran berlakon serupa pemimpin demokrasi yang kini mengubah haluannya menjadi otoriter atau reversal of authoritarian regime.

Bahkan manuver keluarga Jokowi berdesing melesat dan meluluhlantahkan pematangan demokrasi yang gencar dikonsolidasikan menuju tahun 2029. Sebab di tahun itu sempat diyakini secara ilmiah bahwa Indonesia memiliki rupa demokrasi yang mumpuni.

Baca Juga: PDIP Bongkar Alasan Keluarga Jokowi Pindah Haluan ke Prabowo-Gibran

Keluarga Jokowi—terutama Jokowi lahir dengan fasad demokrasi yang sedang bertumbuh ternyata hancur dan rusak lantaran geliat satu keluarga yang mengangkangi konstitusi. Hipokrit sebuah keluarga yang menjadi bencana dan musuh demokrasi.

Jokowi yang merupakan anak kandung demokrasi, kini terkesan memaksakan anak kandungnya untuk mendestruksi demokrasi. Menebar anak dan menantunya menjadi politikus penanda bahwa dirinya menanam benih otoritarianisme. Meski berdalih tak terdapat politik dinasti, lantaran semua kuasa diserahkan ke rakyat.

Namun dengan sistem demokrasi yang dibentengi dengan presidential threshold memaksa elite politik berembuk dalam ruang sempit yang hanya menghasilkan calon pemimpin yang tersedia dengan tiket terbatas, belum tentu yang terbaik.

Baca Juga: Berpasangan dengan Gibran, Prabowo Maklumi Dinasti Politik

Jokowi mesti memahami bahwa demokrasi Indonesia bukan hadiah. Juang darah, keringat, dan air mata tumpah dalam arena pergulatan. Luka demokrasi belum sembuh. Namun ambisi hipokrit Jokowi seakan menabur garam di atas luka demokrasi Indonesia yang menyisakan dera deru derita.

Dalang Di Balik Nyala Nyali Jokowi

Presiden Jokowi hadir langsung di acara Musra yang digelar di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (14/5).
Presiden Jokowi mengadiri acara Musra yang digelar di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (14/5). Foto: bakabar.com/Andrey

PRESIDEN Jokowi ambisius mengupayakan Gibran Rakabuming Raka untuk meneruskan takhta kepemimpinan nasional. Kekuatan kekuasaan seakan membuatnya lupa bahwa dirinya dan keluarganya bukan solusi tunggal yang mampu menenun masa depan Indonesia.

Gaung tentang Jokowi yang terlalu memprioritaskan keluarganya tak sekadar mengoyak demokrasi, namun menutup peluang Indonesia bisa bertumbuh.

Kemampuan keluarga Jokowi yang ambisius memimpin negeri patut dipertanyakan. Sebab Jokowi pun belum sempurna memimpin negeri. Catatan minor masih dilekatkan dalam kaleidoskop kepemimpinannya.

Kepentingan Indonesia tak bisa digantungkan kepada satu keluarga saja—keluarga Jokowi, karena tak ada garansi Jokowi beserta keluarganya yang paling tahu dan mengerti dengan denyut nadi utopia Indonesia.

Baca Juga: Tanggapi Isu Dinasti Politik, Jokowi Sebut Rakyat yang Menentukan

Dalang yang menggerakkan dan membisikkan manuver politik destruktif Jokowi menjadi pertanyaan yang menggantung di benak publik. Terlebih sikap politik Jokowi beradu dengan spirit demokratisasi demi memuluskan jalan anaknya merebut dan melanggengkan kekuasaan.

Namun petunjuk dalam ikhtiar mencari dan menelisik dalang di balik manuver Jokowi ternyata dibongkar Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP, Romahurmuziy kepada bakabar.com. Ia yang dulu berada di tubuh koalisi Jokowi menyicil pengetahuannya tentang wajah asli Jokowi.

Ia menduga tidak ada dalang dan aktor lain yang membuat Indonesia dipandang minor dalam aspek demokrasi kekinian, selain Jokowi sendiri. Meski Jokowi dulu dianggap hanya berlakon sebagai wayang, kini menjadi dalang dalam panggung politik.

“Ada tiga orang: Jokowi, Jokowi, dan Jokowi. Tidak ada orang lain,” kata Romy sembari tertawa.

Sejumlah pernyataan Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Kaesang Pangarep. Infografis: bakabar.com/Rully
Sejumlah pernyataan Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Kaesang Pangarep. Infografis: bakabar.com/Rully

Baca Juga: PKS Singgung Gibran Cawapres Prabowo: Dinasti Politik Tak Laku!

Romy pun bercerita keyakinan Jokowi untuk memposisikan Gibran Rakabuming Raka melanggengkan kekuasaan diperkuat dengan sokongan dukungan dari orang terdekatnya. Tetapi bisikan orang terdekat Jokowi hanya sebagai saran, bukan keharusan. Sebab koleganya patuh di bawah kendali Jokowi.

Jokowi memiliki kalkulasi politik tanpa digerakkan kelompok maupun orang yang menjadikannya boneka dalam perhelatan politik.

“Jadi tidak ada orang di belakang Jokowi,” ujar Romy.

Cerita senada juga diperkuat PDI Perjuangan, rumah politik Jokowi yang kini merasa kecewa ditinggalkan dan berhadapan sebagai rival politik.

Jokowi ditopang kolega yang mengamini tindak-tanduknya untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan secara spesifik, pembisik Jokowi memiliki dorongan untuk menyusun fasad dinasti politik.

“Pasti orang-orang terdekat yang mendukung membangun pemerintahan keluarga,” kata Andreas Hugo Pareira.

Baca Juga: Airlangga Akui Gencarkan Dinasti Politik, Usung Anak Politikus Golkar

Orkestrasi manuver Jokowi dijalankan sejumlah pihak sehingga lantunan nada destruksi demokrasi membuat Gibran meronggeng di arena Pilpres 2024.

Peneliti BRIN, Wasisto Rahardjo Jati menyangsikan peran Jokowi secara kasat mata. Namun orang di lingkaran kekuasaan bergerak demi memenuhi keinginan seorang ayah untuk anaknya coba-coba beradu peruntungan menjadi cawapres.

“Semua itu digerakkan oleh banyak orang, bukan Presiden langsung,” kata Wasisto.

Ketua Relawan Jokowi Mania yang kini mengubah nomenklaturnya menjadi Prabowo Mania, Immanuel Ebenezer meyakini Jokowi tak sehebat yang diperkirakan banyak orang.

Ia meragukan bahwa Jokowi mampu mengatur skenario politik sedemikian rupa. Apalagi Jokowi dicap menjadi dalang terhadap kisruh politik dinasti. Jokowi tak sehebat itu.

Ia mengeklaim rakyat yang memiliki kedaulatan untuk membuat Gibran kalah atau menang. Maka ia mengesampingkan peran Jokowi dan tak diperhitungkan.

“Nggak bisa Jokowi, sehebat apa Jokowi sih,” kata Imanuel.

Sementara Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar, Maman Abdurrahman menepis Jokowi yang membangun fasad dinasti politik dalam konfigurasi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Gibran dianggap hanya seorang anak muda yang berkesempatan untuk beradu untung di Pilpres 2024, tanpa embel-embel dukungan ayahnya, Jokowi. Narasi dinasti politik dianggap hanya untuk menghajar Gibran di ruang publik.

Tetapi kubu Gibran hanya menganggap serangan politik sebagai kerikil, bukan jalan yang terjal yang menentangnya berlenggak-lenggok dalam panggung politik.

“Alasan yang digunakan untuk mendiskreditkan seorang Gibran,” ujar Maman.

Ilusi Sakit Hati Jokowi

Presiden Jokowi
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Foto: tangkapan layar)

HATI Jokowi dianggap gusar dan terkoyak dengan label petugas partai yang seringkali dilekatkan PDI Perjuangan. Bahkan penegasan petugas partai berulang kali memenuhi narasi di ruang publik.

Padahal label petugas partai justru bertalian dengan penugasan PDI Perjuangan terhadap dirinya untuk bertarung menjadi Wali Kota Solo dua periode, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI dua periode.

Jika bukan petugas partai, Jokowi takkan pernah menjadi presiden. Bahkan bermimpi pun tak mungkin.

Lima kali bertarung, Jokowi selalu memenangkan pergulatan dari tingkat daerah hingga nasional. Lagi pula label petugas partai bukan sematan tercela. Maka sakit hati Jokowi seolah menjadi ilusi untuk menutupi ambisi melanggengkan kekuasaan.

Bahkan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka juga diperlakukan sama untuk mendapatkan penugasan PDI Perjuangan menjadi Wali Kota Solo. Begitupun menantu Jokowi, Bobby Nasution yang juga melenggang menjadi Wali Kota Medan. Apalagi Kaesang Pangarep yang melesat hanya hitungan hari menjadi Ketua Umum PSI. Tak terlalu berlebihan jika Jokowi beserta keluarganya adalah petugas partai.

Baca Juga: MK Uji Materi Syarat Usia, Prabowo-Gibran Rawan Dilemahkan!

Namun cap petugas partai mestinya tak terlalu membuat Jokowi terganggu dan gusar. Sebab di atas kertas Jokowi membutuhkan restu PDIP dalam setiap proses kandidasi. Bahkan hingga meraih kemenangan tanpa putus.

Sejumlah pihak mempertanyakan alasan Jokowi begitu bernyali melawan PDI Perjuangan. Setidaknya dengan merestui Gibran Rakabuming Raka bersanding dengan Prabowo Subianto. Sekaligus manuver adik iparnya yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman yang menyelamatkan Gibran agar lolos syarat pencalonan.

“Tidak perlu ada yang merasa sakit hati dengan istilah petugas partai sebenarnya. Karena setiap partai politik itu punya penugasan,” kata Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP, Romahurmuziy kepada bakabar.com.

Tak ada alasan Jokowi harus sakit hati dan melampiaskannya dengan manuver yang justru merobek harapan masyarakat Indonesia yang menginginkan demokrasi bertumbuh. Sakit hati Jokowi yang membuat demokrasi Indonesia sakit.

Baca Juga: Pamannya Dipecat dari Ketua MK, Gibran Hormati Keputusan

Menghalalkan segala cara agar keluarganya mendapat tiket untuk melanggengkan kekuasaan. Justru kemarahan Jokowi berdampak pada rusaknya demokrasi yang hanya didasarkan selera dan alasan personal. Indonesia bukan untuk satu keluarga semata.

Pelampiasan sakit hati Jokowi menjadi momok yang mengerikan dalam gelombang demokrasi Indonesia yang hendak matang pada 2029. Pembangunan fondasi dinasti politik yang mengangkangi konstitusi menjadikan Jokowi sebagai rezim yang semula terlihat demokratis berubah menjadi otoriter.

Romahurmizy ragu jika Jokowi hanya sakit hati dan melampiaskannya. Sebab Jokowi tampak serius memetakan konfigurasi politik agar anaknya, Gibran melenggang dengan mulus.

Sakit hati Jokowi dimungkinkan dibalut dengan ambisi untuk tetap berkuasa. Bahkan ambisi menjadi bahan bakar dirinya untuk berhadapan dengan PDI Perjuangan yang semula menjadi rumah yang ramah bagi dirinya.

Jokowi kekinian tak mungkin hengkang dari PDIP karena akan membuatnya merugi. Ia akan menggantung status keanggotaan dirinya beserta keluarganya di PDIP. Seraya ia tetap memposisikan untuk berhadapan secara tak langsung dengan memasang anaknya untuk melawan capres-cawapres yang diusung PDIP.

Syahdan, manuvernya tak semata-mata sekadar sakit hati, tetapi diselubungi ambisi melanggengkan kekuasaan.

Baca Juga: MKMK Tutup Peluang Banding untuk Paman Gibran

Bukan tanpa alasan, Jokowi juga dinilai menghendaki kekuasaan tak bergeser dengan mencuatnya isu perpanjangan masa jabatan presiden yang diikuti dengan narasi penundaan Pemilu. Namun isu tumbang dengan narasi publik yang ogah mengendus bibit otoritarianisme.

Bahkan Menteri Jokowi juga sempat ditugaskan untuk melakukan komunikasi informal dengan ketua umum partai politik agar mengamini orkestrasi melanggengkan kekuasaan Jokowi.

Terlalu naif Jokowi jika berpura-pura lugu di hadapan publik. Dalam waktu yang sama, loyalisnya melakukan gerilya untuk memenuhi keinginan Jokowi. Gelombang penolakan masyarakat beradu dengan keinginan Jokowi.

Sakit hati Jokowi hanya sekadar ilusi semata. Jokowi memerlukan alasan untuk memastikan kepentingan keluarganya dapat terpenuhi, meski harus mengoyak demokrasi Indonesia. Termasuk dengan rekayasa pengaturan syarat yang mengakali konstitusi pun menjadi instrumen yang memuluskan jalan Gibran.

“Ini namanya ngakali demokrasi,” ujar Romy.

Baca Juga: Diusung Capres PDIP, Romy: Ganjar Pranowo 'Kader Biologis' PPP

Dinasti politik menjadi potret laten yang kini mulai disusun agar keluarga Jokowi tetap menghuni Istana.

Alasan Jokowi kembali dipertanyakan. Bahkan mantan Asisten Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Yahya Tatang Badru Tamam pun menyayangkan manuver drastis sikap politik Jokowi.

Jokowi semula diprediksi takkan berdaya melakukan manuver sejauh ini. Namun kadung terjadi. Lagi dan lagi, hanya Jokowi lah yang mampu menjawab alasan yang melatari manuver politiknya.

“Teman-teman lain menyayangkan dan cukup kaget dengan sikap seperti itu. Banyak orang mengira bahwa tidak akan sampai seperti itu tindakan Jokowi. Nah (alasan) yang tahu ya Jokowi,” kata Tatang.

Namun terdapat dugaan bahwa keinginan Jokowi tak mampu diakomodir PDIP yang memicu selisih. Ditambah dengan dinamika politik yang terus berkembang. Seolah gayung bersambut sehingga membuat Jokowi menetapkan langkah politik yang mengernyitkan kening banyak orang.

“Keinginan Jokowi tidak sinkron dengan keinginan partai sehingga cari manuver yang bisa menumpahkan apa yang menjadi keinginan beliau,” ujar Tatang.

PDI Perjuangan pun menepis rasa sakit hati Jokowi yang melatari manuver perusakan demokrasi. Dalam waktu yang bersamaan Jokowi juga mengkhianati PDIP yang selalu mendukungnya. Bahkan karier politik Jokowi merupakan buah dari restu PDIP.

Baca Juga: Denny Kecewa Paman Gibran Tak Dipecat MKMK: Saya Akan Tetap Kritis

Andreas Hugo Pareira justru kembali mempertanyakan alasan sakit hati Jokowi hingga begitu bernyali mengkhianati PDIP. Padahal Jokowi lima kali berkandidat selalu mulus diberikan tiket bertarung. Sekaligus anak dan menantunya yang juga direstui menjadi penguasa di Solo dan Medan.

“Apa kurangnya PDI Perjuangan terhadap keluarga ini?” ujar Andreas.

Namun Jokowi tetap dibela relawannya yang kini menjadi tim pemenangan Prabowo-Gibran. Baginya Jokowi juga memiliki hak demokrasi untuk memilih dan mengarahkan dukungan politiknya. Meskipun harus bertabrakan dengan sikap politik PDIP.

Bahkan ia meminta Jokowi tak dihalangi dan dibatasi untuk menentukan pilihan politiknya, termasuk memastikan anaknya, Gibran Rakabuming Raka meneruskan takhta kepemimpinan Jokowi.

“Nah kalau Jokowi karena anaknya di situ, pasti di situlah dukungannya. Ya nggak mungkin tidak,” ujar Immanuel Ebenezer.

Gibran diklaim tak sekadar meneruskan rezim kepemimpinan Jokowi, tetapi diajukan demi kepentingan bangsa. Lagi dan lagi frasa anak muda yang dijual. Bahkan ia meminjam nama rakyat dalam menentukan nasib terpilihnya Gibran sebagai wapres atau tidak.

Infografis Gibran bakabar.com
Infografis Wali Kota Solo sekaligus Cawapres, Gibran Rakabuming Raka. Foto: bakabar.com/Rully

Akhirnya Jokowi tak layak beralasan hanya sakit hati. Sakit hati hanya soal rasa, rasa dapat dikelola. Namun jika sakit hati personal berdampak pada perusakan demokrasi, maka manuver Jokowi tak dilatari alasan yang kuat dan mumpuni.

Maka tudingan memasang Gibran demi melenggangkan kekuasaan dapat dijadikan alasan yang masuk akal. Terlebih petunjuk dan sinyal memperpanjang kekuasaan Jokowi telah terendus sejak lama.

Jokowi berambisi dalam mempertahankan kekuasaan. Meskipun anaknya hanya menjadi calon wakil presiden. Namun tak ada alasan ideologis yang melatari Jokowi melakukan manuver perusakan demokrasi. Hanya sekadar transaksional semata. Anaknya dapat mudah dan melenggang menjadi wapres untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi.

“Kalau dibilang ideologis, tidak ada ideologi yang melatarbelakangi. Kalau transaksional, belum jelas secara 100 persen,” kata Peneliti BRIN, Wasisto Rahardjo Jati.

Jokowi dipercaya akan menutup kepemimpinan dua periode dengan kesan yang buruk. Mengarusutamakan kehendak anaknya menjadi cawapres seraya memetakan konfigurasi politik demi melanggengkan kekuasaan.

Topeng Palsu Jokowi

Ilustrasi wajah Presiden Jokowi. Foto: bakabar.com/Fahriadi Noer
Ilustrasi wajah Presiden Jokowi. Foto: bakabar.com/Fahriadi Noer

JOKOWI tak selugu seperti awal kemunculannya di muka publik. Rupanya lambat laun berubah atau justru menampakkan wajah aslinya.

Dulu Jokowi tampak seperti tetangga yang kebetulan menjadi presiden. Simbol kekuatan rakyat dan demokrasi melekat dalam raut wajah Jokowi.

Sejumlah pihak tak membayangkan Jokowi yang lahir dari perwujudan demokrasi mampu menggencarkan manuver yang mengoyak demokrasi. Bahkan menghalalkan segala upaya untuk memberikan karpet merah bagi anaknya melenggang bertarung di Pilpres 2024.

Fasad demokrasi yang disusun bertabrakan dengan spirit gelombang demokrasi Indonesia yang nyaris matang pada 2029.

Baca Juga: Jokowi Optimis Presiden Selanjutnya Lanjutkan Pembangunan IKN

Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP, Romahurmuziy melabeli Jokowi sebagai pembelajar yang baik. Ia mampu bermetamorfosa dan beradaptasi dengan situasi politik.

Jokowi piawai berlakon menyesuaikan keinginan publik. Kemunculannya sebagai pemimpin yang lekat dengan populisme merebut perhatian rakyat. Bahkan mampu dikonversi dengan elektoral yang membuatnya menghuni istana selama 10 tahun.

Masuk ke gorong-gorong, tampil apa adanya hingga nada datar dalam setiap pidato membuat masyarakat menyukai lakon yang diperankan Jokowi.

Tetapi kekuasaan akan menyeret pelakonnya untuk menunjukkan sifat dan rupa aslinya. Masyarakat menerima cicilan yang berakhir pada simpulan yang bertolakbelakang dengan rupa Jokowi sejak awal kemunculannya. Sederhana dan apa adanya.

Bahkan Jokowi dianggap mengenakan topeng yang membuatnya berubah secara cepat. Selain pembelajar, Jokowi mampu memposisikan diri dari situasi politik kekinian.

Kepiawaian Jokowi membuat masyarakat terkecoh. Sulit membedakan keaslian dan kepalsuan Jokowi. Termasuk kemungkinan Jokowi mengenakan topeng atau memasang rupa aslinya.

“Jokowi itu pembelajar yang cepat. Beliau itu penari topeng yang bisa berganti-ganti wajah dalam waktu yang teramat singkat,” kata Romahurmuziy.

Baca Juga: Feri Amsari Sarankan DPR Angket Presiden Jokowi, Bukan MK!

Masyarakat juga akan kesulitan memahami dan memaknai wajah Jokowi. Bias ini ditunjukkan dari sejumlah sikap yang dipamerkan Jokowi yang bergantung selera dirinya.

Maka perubahan drastis Jokowi lambat laun tampak nyata. Dulu Jokowi lugu, kini ia politikus ulung yang memimpin orkestrasi politik. Bahkan ia berlakon bak sutradara yang memainkan skenario perpanjangan masa jabatan hingga menelurkan DNA politik kepada anaknya untuk melanggengkan kekuasaan.

“Jadi Pak Jokowi itu seorang pemain politik yang selalu memiliki banyak skenario dan goals,” ujarnya.

Maka keluguan Jokowi tak relevan dengan situasi politik kekinian. Sebab kini ia berlakon bak politikus ulung. Bahkan ia diakui memiliki kalkulasi dalam memetakan konfigurasi politik.

Romy mengkhawatirkan jika Jokowi menggunakan seperangkat alat negara untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Hal ini rawan terjadi lantaran isu netralitas aparat menjadi arus utama dalam manuver Jokowi mengoyak demokrasi.

Baca Juga: Jokowi Singgung Dinamika Politik: Akhir-akhir Ini Banyak Dramanya

PPP telah mengalami dampak dari manuver Jokowi. Calon anggota legislatif (Caleg) PPP diminta aparat untuk mendukung Prabowo-Gibran dalam gelaran Pilpres 2024. Meski sekadar minta tolong, ia menyangsikan tindakan aparat yang diseret dalam politik praktis. Manuver aparat tak hanya terjadi di satu daerah, melainkan di sejumlah provinsi.

Netralitas aparat menjadi bahaya laten di Pilpres 2024. Meski bukan upaya paksa meminta memilih Prabowo-Gibran, PPP mengendus geliat aparat menjadi bagian yang bertujuan untuk memenangkan anak Jokowi.

Watak pemimpin populis Jokowi pun kembali ditunjukkan. Jokowi memahami di penghujung masa jabatannya mampu mengerek elektoral anaknya melalui program yang bersentuhan dengan masyarakat. Populisme program Jokowi diandalkan untuk menyentuh perhatian masyarakat.

Apalagi Jokowi memberi instruksi khusus kepada Menko Perekonomian yang notabene Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto untuk mengucurkan program bantuan.

Baca Juga: Panglima TNI Tegaskan Netralitas Prajurit dalam Pemilu 2024

Program bantuan tersebut menyentuh 21,3 juta keluarga penerima manfaat. Jika dikalkulasi terdapat 54 juta suara yang berpeluang tersentuh hatinya dengan program bantuan Jokowi.

Strategi pencitraan dengan program populis kembali digencarkan. Tentu masuk dalam kalkulasi Jokowi dalam pemetaan konfigurasi politik.

“Ini adalah strategi pencitraan yang dilakukan secara massif oleh negara,” kata Romy.

Penebaran bantuan langsung tunai atau sembako juga akan digencarkan Jokowi untuk menyelamatkan wajahnya di tengah kemelut tudingan dinasti politik. Bahkan bantuan Jokowi juga  berpeluang akan berdampak pada elektoral anaknya, Gibran Rakabuming Raka.

Tak hanya Jokowi yang dikategorikan sebagai pembelajar yang cepat. DNA politik juga diwariskan kepada anaknya, Gibran. Meskipun wibawa, popularitas, dan elektabilitas sulit diwariskan. Tetapi Jokowi dipastikan memberikan pendidikan politik kepada Gibran saat menyantap makan malam di meja makan.

Bahkan semasa Gibran menjabat Wali Kota Solo, perhatian Jokowi pun tampak terlihat melalui gencarnya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dilakukan di Solo. Bahkan Gibran dituding tak memiliki program yang mentereng tanpa bantuan PSN dari Jokowi. Karier Gibran agak tertolong.

Baca Juga: PKS Tagih Netralitas Presiden Jokowi Usai Bertemu Tiga Capres

Jokowi tampak ingin mengisi peluang kekosongan dan kekurangan modal kepemimpinan anaknya. Ia menambalnya dengan kewenangan yang lebih tinggi. Jokowi begitu peduli dengan nasib anaknya, nasib keluarganya.

Rupa Jokowi yang awalnya lugu tampak berubah. Metamorfosa langkah politik Jokowi semakin piawai dalam mengatur skenario politik. Perubahan sikap drastis Jokowi tak hanya mengecewakan sebagian kolega yang membantu Jokowi di awal kemunculannya, tetapi menuliskan catatan sejarah tentang pemimpin yang tampak demokratis berubah menjadi otoriter.

Jokowi sempat berujar tentang anaknya yang membutuhkan waktu untuk berproses dalam dunia politik. Ojo kesusu. Namun perkataan Jokowi dan manuvernya kini saling bersilangan. Keluarga Jokowi ternyata terburu-buru melibatkan diri dalam proses politik.

Kiprah pencapaian Jokowi seakan runtuh hanya karena tergoda melanggengkan kekuasaan melalui ambisi anaknya.

“Berkali-kali ngomong anaknya masih perlu proses. Dengan seperti ini cerita besarnya rusak selama ini dan kesuksesannya akan tertutup dengan noda itu,” kata eks Asisten Deputi IV KSP, Yahya Tatang Badru Tamam.

Baca Juga: MPR Imbau TNI-Polri Jaga Netralitas Politik di Pemilu 2024

Jokowi mengorbankan diri di penghujung masa jabatan demi menukar tambah dengan kans anaknya tetap menghuni Istana. Meskipun Gibran harus puas untuk menjadi nomor dua. Tak serupa ayahnya.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (10)

Kekuasaan menjadi candu yang akan menggoda siapapun. Apalagi memberi iming-iming bagi figur yang mudah tergiur. Jokowi akhirnya tergoda meneruskan kekuasaan dengan memasang keluarganya dalam panggung politik.

Jokowi belum sadar bahwa Indonesia bukan sekadar urusan domestik tentang keluarganya. Indonesia itu negara, bukan hanya tentang Jokowi dan keluarga.

Editor


Komentar
Banner
Banner