bakabar.com, JAKARTA - Ketua Umum Serikat Pekerja Indonesia Sejahterta (SPIS) PT IMIP, Katsaing menyatakan upah pokok para buruh di Morowali mengalami perubahan signifikan setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja.
Sebelumnya, para pekerja di kawasan PT IMIP itu digaji sesuai dengan upah sektoral yang telah diatur, yakni sebesar Rp3,6 juta.
Setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, upah sektoral dihapuskan tanpa adanya perlindungan hukum bagi pekerja terkait upah.
Baca Juga: Sisi Gelap Transparansi Upah Pekerja Smelter di Morowali
Baca Juga: Faskes Ala Kadarnya, Pekerja Smelter di Morowali Terancam Debu Tambang
Situasi seperti itu, kata Katsaing, membuat para pengusaha mendaftarkan upah kepada BPJS lebih rendah dibandingkan upah sektoral sebelumnya.
Alhasil, jumlah upah yang dibayarkan justru malah menciptakan kesenjangan pendapatan antara pengusaha dan pekerja smelter.
"Sampai sekarang ini kan Pengusaha membayarkan Kalau saya tidak salah Lebih rendah dari upah sektoral itu kepada BPJS," bebernya.
Baca Juga: Pemerintah Abai hingga Sederet Pelanggaran HAM di Industri Smelter
Di samping itu Katsaing juga menilai sistem pengupahan PT IMIP sangat berantakan dengan sistem pengupahan dibagi menjadi tiga komponen, yaitu upah pokok, upah tetap, dan upah tidak tetap.
Namun, bagian daripada upah pokok yang seharusnya bisa tergabung dalam komponen upah pokok tidak digabungkan oleh perusahaan smelter di kawasan PT IMIP.
"Sehingga upah pekerja itu sampai sekarang itu tidak bisa mensejahterakan pekerja yang ada di kawasan IMIP secara utuh," terangnya.
Baca Juga: Kasus Ledakan Smelter PT ITSS Morowali Masuk Tahap Penyidikan
Dia mencontohkan, misal dalam struktur skala upah berdasarkan undang-undang terdapat lima item. Yaitu masa kerja, pendidikan, kompetensi, jabatan, dan golongan.
Dalam hal tunjangan masa kerja itu, seharusnya masuk dalam upah pokok. Namun di PT IMIP dibuat dalam tunjangan lain-lain atau komponen lain.
Cara tersebut yang menurutnya menciptakan sistem pengupahan di PT IMIP menyalahi konteks undang-undang yang berlaku.
"Nah ini kan yang membuat sistem pengupahan ini menurut saya keluar daripada konteks undang-undang," ujarnya.
Baca Juga: Menperin Akui Perbedaan Budaya Picu Kecelakaan Kerja di Smelter
Baca Juga: Ledakan Smelter Morowali Terus Berulang, Menperin Siapkan Sanksi
Demikian juga, kompetensi skill, seharusnya dibayarkan pada upah tetap. Namun..
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya..
Demikian juga, kompetensi skill. Kata dia seharusnya hal itu dibayarkan pada upah tetap. Namun di IMIP kinerja menjadi faktor penentu, atau upah tidak tetap.
Dengan begitu, apabila kinerja pekerja baik akan dibayar. Sebaliknya, jika kinerja buruk maka gaji pekerja akan dipotong.
"Ini kan adalah pembodohannya. Sebuah pembodohan terhadap pekerjaan buruh," ujarnya.
Dia juga mengkritik perihal pengalihan sebagian upah pokok ke tunjangan perumahan. Hal itu yang membuat total upah minimum yang diterima pekerja tidak mencapai Rp3,6 juta.
Baca Juga: Bos PT IMIP Bungkam soal Kecelakaan Kerja di Smelter ITSS Morowali
Sementara kata dia, seharusnya tunjangan perumahan tidak masuk dalam upah pokok melainkan komponen lain.
Dalam hal ini kata dia, tunjangan perumahan itu biasanya diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Namun dalam konteks IMIP, imbuh Katsaing, tunjangan perumahan justru masuk dalam rincian upah pokok atau upah minimum yang didapat.
"Kira-kira seperti itu jadi sistem pengupahan ini tuh kacau carut marut," pungkasnya.