bakabar.com, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum Makassar mengungkap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di kawasan pertambangan, khususnya di area PT IMIP bukanlah hal baru.
Pasalnya, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan merupakan imbas dari pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah. Hal itu yang menyebabkan melanggengnya pelanggaran ham di kawasan industri smelter di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng).
"Padahal fungsi pemerintah adalah memberikan pekerjaan yang aman sebagai bentuk dari pemenuhan hak asasi manusia," kata Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir kepada bakabar.com, Kamis (4/1).
Baca Juga: Menperin Akui Perbedaan Budaya Picu Kecelakaan Kerja di Smelter
Baca Juga: Ledakan Smelter Morowali Terus Berulang, Menperin Siapkan Sanksi
Pemerintah, kata Haedir, seharusnya mengambil sikap melalui Dinas Tenaga Kerja dalam rangka mencegah terjadinya kembali kecelakaan kerja.
Kecelakaan kerja yang telah menewaskan sebanyak 20 pekerja tersebut dapat menjadi peringatan kepada pemerintah agar lebih intens melakukan pengawasan.
Tak hanya itu, pemerintah juga perlu mengevaluasi perusahaan, khususnya yang bergerak di sektor pertambangan.
"Itu pekerjaan yang tidak layak karena tidak memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja kepada pekerjanya," terangnya.
Sederet Pelanggaran HAM
LBH Makassar memaparkan sederet pelanggaran yang terjadi di industri smelter di kawasan PT IMIP, Morowali, Sulawesi Tengah. Yang paling mendasar mengenai jam kerja di luar batas ketentuan ketenagakerjaan.
Para pekerja di industri smelter dalam sehari diminta bekerja selama 12 jam. Padahal, batas kerja ideal pekerja adalah 8 jam per hari. Durasi ideal tersebut juga termasuk waktu jam istirahat.
"Lebihnya 4 jam itu tidak dibayar, tidak dihitung dan diberi upah lembur," ujarnya kepada bakabar.com.
Baca Juga: Pertemuan Bilateral China-Indonesia Minim Bahas K3 Smelter
Baca Juga: Waduh! Mayoritas Smelter di Morowali Abaikan Asuransi Ketenagakerjaan
Tak hanya mengenai jam kerja, pelanggaran HAM juga terjadi dalam penghitungan upah buruh. Menurutnya, masih banyak perusahaan smelter yang menggaji buruh tidak sepadan dengan bobot kerja yang dikerjakan.
Dia mencontohkan di PT Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) yang digaji hanya Rp4.500.000. Meskipun di atas UMP, Rp3.100.000. Namun, upah lebihnya itu sudah dianggap sebagai upah lembur.
"Jadi lemburnya itu tidak dibayar, diambil dari upah yang didapat perbulannya," ungkap.
Baca Juga: Smelter Nikel Meledak, Said Iqbal Tuding PT ITSS Abaikan K3
Baca Juga: Bos PT IMIP Bungkam soal Kecelakaan Kerja di Smelter ITSS Morowali
Pelanggaran HAM juga merambah di pencemaran lingkungan. Seringkali smelter di Indonesia masih melakukan pembuangan limbah ke tempat yang tidak semestinya. Salah satunya di sungai.
Perusahaan smelter juga sering menggunakan air tanah. Aktivatas tersebut berimbas pada kekeringan di sumur-sumur milik warga di sekitar smelter.
"Sementara pemerintah tidak mengambil tindakan sama sekali " jelasnya kepada bakabar.com.
Baca Juga: Ledakan Smelter PT ITSS, Kapolres Morowali: Belum Ada Tersangka
Selain itu, asap yang ditimbulkan dari industri smelter juga berdampak ke masyarakat. Asap tersebut berbentuk debu dengan aroma yang tidak sedap yang berasal dari sekitar perusahaan.
"Itu kan masih ada masyarakat yang tinggal di situ itu. Nah itu adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, kalau juga bicara lingkungan," pungkasnya.