Cukai Hasil Tembakau

Kenaikan CHT, PKJS-UI: Kendalikan Konsumsi, Bukan Penerimaan Negara

Tim Peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono menjelaskan CHT sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok.

Featured-Image
Kenaikan tarif CHT berperan penting untuk menurunkan produksi rokok. Hal itu terjadi karena kenaikan tarif CHT akan menaikkan harga rokok sehingga menurunkan demand terhadap pembelian rokok. Foto: pajakku.com

bakabar.com, JAKARTA - Tim Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono menjelaskan cukai hasil tembakau (CHT) sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok.

Kenaikan tarif CHT, kata Risky, berperan penting untuk menurunkan produksi rokok. Hal ini terjadi karena kenaikan tarif CHT pada ujungnya akan menaikkan harga rokok sehingga menurunkan demand terhadap pembelian rokok.

Kenaikan tarif CHT diupayakan oleh Kementerian Keuangan untuk mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), utamanya dalam penurunan prevalensi perokok anak.

"Pada tahun 2023 ini, terjadi kenaikan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) minimum sebesar 10%," ujarnya kepada bakabar.com, Sabtu (8/7).

Baca Juga: Penurunan CHT, Pengamat: Maraknya Peredaran Rokok Ilegal

Data Kementerian Keuangan menunjukkan produksi sigaret domestik mengalami penurunan atau minus sebesar 2,8% pada 2023. Namun, kenaikan sebesar 10% itu menurut World Health Organization (WHO) maupun Bappenas belum terlalu efektif untuk mengendalikan perokok anak.

Itu karena kenaikan CHT yang efektif sejatinya secara rerata sebesar 25%. "Terbukti tahun 2023, kenaikan tarif cukai beserta HJE sebesar 23% mampu menurunkan produksi sigaret domestik hingga mencapai minus 9,7%," ungkapnya.

Meskipun demikian, Kementerian Kuangan telah menerapkan kenaikan CHT secara
multiyears sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024 nanti. Menurut Risky, upaya itu perlu mendapatkan apresiasi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga perlu untuk mendukung kebijakan ini pada tahun 2024. Ini penting karena pengalaman tarif CHT yang tidak naik pada 2019, justru meningkatkan produksi sigaret domestik sebesar 7,3%.

Baca Juga: Kenaikan Cukai, Pengamat: Bukan Solusi Mengurangi Konsumsi Rokok

"Kondisi peningkatan produksi itu tentu sejalan dengan peningkatan konsumsi rokok," tegasnya.

Di sisi lain, Praktik baik dari negara-negara maju memperlihatkan kenaikan tarif CHT terbukti efektif menurunkan demand konsumsi apabila persentase kenaikannya lebih tinggi daripada inflasi dan indeks harga konsumen.

Sedangkan kenaikan tarif CHT secara multiyears oleh pemerintah, menurut Risky, seharusnya menerapkan kenaikan yang sangat tinggi di awal tahun (misal 25%). Baru kemudian kenaikan secara konstan pada tahun- tahun berikutnya.

Negara lain pernah menerapkan kenaikan tarif CHT dengan menyesuaikan inflasi plus 10%. Beberapa praktik baik itu dapat diterapkan di Indonesia ketika akan menaikkan tarif cukai secara multiyears di masa depan agar semakin efektif menurunkan produksi rokok.

Baca Juga: Polisi Amankan Pria yang Merokok saat Berkendara di Jagakarsa

Produksi rokok turun, penerimaan cukai naik

Tim Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono menjelaskan cukai hasil tembakau (CHT) sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Foto: PKJS-UI
Tim Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono menjelaskan cukai hasil tembakau (CHT) sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Foto: PKJS-UI

Efek positif dari peningkatan tarif CHT, berupa peningkatan penerimaan negara. Rokok, kata Risky, merupakan produk yang inelastis, sehingga diharapkan rumus penerimaan negara dari tarif cukai yang dibayarkan cukup tinggi dikalikan dengan pembelian rokok yang terkendali atau penurunan produksi rokok.

"Bukan dari pembelian rokok yang cukup tinggi dikalikan dengan tarif cukai yang rendah," terang Risky.

Kondisi penurunan produksi rokok dengan kenaikan penerimaan negara sejauh ini telah sejalan dengan prinsip cukai termasuk dengan praktik baik di negara-negara maju.

Data Kementerian Keuangan memperlihatkan target penerimaan cukai dalam APBN tahun 2023 sebesar Rp232,58 triliun, diproyeksikan akan tetap tercapai melalui kebijakan kenaikan tarif CHT dan HJE sebesar 10% yang diterapkan pada tahun ini.

Baca Juga: Ditegur Merokok Sambil Naik Motor, Pria Justru Ngaku Polisi

"Oleh karena itu, pada tahun berikutnya sangat penting mempertahankan kenaikan tarif CHT untuk diperlakukan pada 2024," ungkapnya. Meskipun demikian, tujuan utama dari kenaikan tarif CHT adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok.

Sedangkan peningkatan penerimaan negara merupakan win-win solution dari kebijakan tersebut. Selain itu, peningkatan penerimaan cukai ini sangat berguna untuk meningkatkan alokasi pendanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).

"Alokasi dana DBH CHT ini sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau maupun peningkatan upaya kesehatan masyarakat," terang Risky.

Kendalikan konsumsi rokok

Ilustrasi risiko perokok aktif
Ilustrasi perokok aktif berisiko terserang kanker paru. Foto: Dokter Sehat.

Data klaim BPJS Kesehatan menyebutkan penyakit-penyakit akibat rokok yang bersifat katastropik (berbiaya mahal), seperti penyakit jantung, stroke, dan kanker semakin mengkhawatirkan.

Baca Juga: Januari hingga Mei, Penerimaan dari Cukai Rokok Turun 12,4 Persen

Prevalensi rate penyakit-penyakit tersebut pun mengalami peningkatan dari 2020 ke 2021. Selain itu, Global Burden Disease (GBD) memperlihatkan tren kematian di Indonesia akibat penggunaan rokok yang menempati peringkat ketiga di tahun 2009, kini naik menduduki posisi kedua pada 2019.

Rokok tidak hanya membahayakan konsumen perokoknya saja, melainkan juga
orang di sekitarnya atau biasa dikenal dengan second-hand smoke. Anak-anak, wanita, dan kelompok rentan menjadi korban akibat rokok.

"Di negara-negara maju, cara paling efektif mengendalikan konsumsi rokok adalah melalui instrumen kenaikan harga rokok. Ini dapat diterapkan melalui kebijakan kenaikan tarif CHT," tegasnya.

Studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menyebutkan sebanyak 74% perokok berniat berhenti merokok apabila harga rokok per bungkus naik menjadi Rp70.000 per bungkus.

Baca Juga: Naik Tarif Cukai Rokok Demi Cuan Semata?

"Namun, kenaikan tarif CHT saat ini belum menjadikan harga rokok yang signifikan mahal pada 2023 ini," ujar Risky.

Selain itu, sesuai dengan Undang-Undang tentang Cukai, tujuan utama diberlakukan cukai adalah untuk mengendalikan konsumsi, dan bukan sebagai bahan untuk penerimaan negara.

Karena itu, setiap pembangunan nasional harus sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. "Sedangkan rokok bukan barang normal, melainkan produk yang memiliki dampak negatif bagi kesehatan dan ekonomi sehingga sangat perlu untuk dikendalikan konsumsinya dan diawasi peredarannya sesuai prinsip cukai," paparnya.

Bukti pendekatan ekonomi telah diurai oleh studi PKJS-UI yang menemukan bahwa peningkatan 1% konsumsi rokok dapat meningkatkan 6% poin kemiskinan rumah tangga di Indonesia.

Baca Juga: Negara Merugi Triliunan Rupiah, CISDI Dukung Kenaikan Cukai Rokok!

"Sebaiknya rumah tangga lebih memprioritaskan membeli konsumsi yang bernutrisi dibandingkan untuk belanja rokok, ucap Risky.

Disamping itu, terdapat berbagai hal yang berpotensi menurunkan efektivitas kebijakan CHT, seperti layer tarif cukai yang masih berlapis (8 golongan). Hal itu membutuhkan peran negara terkait komitmen untuk menyederhanakan strata tarif CHT.

Seharusnya bisa mengacu pada kondisi ideal seperti negara-negara maju, dimana hanya terdapat 1 tarif cukai dengan persentase harga yang cukup tinggi. Semenara itu, Kementerian Kesehatan mendorong tarif cukai dapat dibagi menjadi 2 layer saja.

Layer pertama, rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Sedangkan layer kedua, yaitu Sigaret Kretek Tangan (SKT). "Penyederhanaan itu diharapkan agar pengendalian konsumsi rokok menjadi semakin optimal di Indonesia," ungkapnya.

Baca Juga: Jutaan Rokok Ilegal dan Ribuan Liter Miras Dimusnahkan Bea Cukai Banten

Beralihnya para perokok

Produksi rokok sigaret kretek linting - bakabar.com
Ilustrasi - Ratusan pekerja melakukan aktivitas produksi rokok sigaret kretek linting tangan di salah satu industri rokok di Tulungagung, Jawa Timur. Foto: ANTARA

Strata tarif CHT di Indonesia masih berlapis sebanyak 8 golongan. Tarif CHT yang memiliki harga paling tinggi adalah pada rokok golongan 1, baik itu pada jenis SKM maupun SPM.

Adanya gap antar tarif pada golongan yang berbeda itu mengakibatkan terjadinya perbedaan harga, terutama harga rokok yang lebih murah pada rokok-rokok golongan 2.

Kondisi itu mengakibatkan harga rokok yang paling mahal dan lebih murah di bawahnya. "Ini menjadikan adanya kecenderungan konsumen beralih ke harga rokok yang lebih murah, yaitu rokok golongan 2 atau justru beralih ke rokok jenis SKT yang memiliki tarif cukai paling rendah," jelas Risky.

Apabila diperhatikan secara mendalam, gap antar tarif CHT maupun HJE rokok golongan 1 dan golongan 2 ini semakin tahun perbedaannya semakin besar. Perbedaan CHT rokok jenis SKM golongan 1 dan 2 pada 2022 sebesar Rp985 untuk golongan 1 dan Rp600 pada golongan 2 per batangnya. Sedangkan pada 2023 sebesar Rp1.101 untuk golongan 1 dan Rp669 pada golongan 2 per batang.

Baca Juga: Curhat Pedagang Soal Kenaikan Cukai Rokok: Bebani Rakyat, Harus Dicabut

Kondisi gap yang semakin besar juga terjadi pada rokok jenis SPM. Gap yang semakin lebar ternyata belum sejalan dengan prinsip atau tujuan utama dari kebijakan cukai.

Adanya strata tarif cukai yang berlapis bahkan dengan gap tarif yang semakin melebar akan membuat konsumen beralih produk ketimbang memilih berhenti membeli rokok.

"Gap perbedaan tarif antar golongan yang semakin besar ini masih akan
terjadi pada rencana kebijakan CHT yang akan berlaku pada 2024 nanti," katanya. Untuk itu, pemerintah perlu mendekatkan gap antar tarif sigaret golongan 1 dan golongan 2 pada tahun-tahun berikutnya.

Termasuk, menjadi penting untuk melanjutkan penyederhanaan strata tarif cukai rokok dari 8 golongan menjadi lebih sederhana.

"Studi yang dilaksanakan oleh Bappenas menunjukkan bahwa kenaikan tarif CHT yang disertai dengan penyederhanaan strata tarif cukai dapat lebih efektif untuk menekan perokok anak," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner