bakabar.com, JAKARTA - Pengusaha spa yang tergabung dalam Wellness and Health Entrepreneur Association (WHEA) menyatakan menolak mengenai wacana pemberlakuan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) sebesar 40-75 persen.
"Pemerintah tidak komunikasi dengan industri, jadi kalau ada yang bilang sudah, itu bohong," kata Ketua Umum WHEA, Lourda Hutagalung saat konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (18/1).
Aturan mengenai PBJT yang di dalamnya juga memuat usaha spa terteran dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Baca Juga: Pengusaha Spa Tolak Bisnisnya Dimasukan ke Sektor Industri Hiburan
Sejak awal, pihaknya konsisten menolak pemberlakuan pajak yang ingin dimasukan dalam undang-undang. Sikapnya tersebut konsisten bertahan. Bahkan sikap penolakannya tersebut disampaikan ke DPR yang justru dilempar ke Kemenparekraf.
Saat menyampaikan sikapnya tersebut ke Kemenparekraf, Laourda menerangkan ta mendapatkan tanggapan lebih lanjut dari kementerian yang dipimpin Sandiaga Shalahuddin Uno itu.
Kini, ketika permasalahan pengenaan pajak yang masuk kategori hiburan khusus itu dipermasalahkan. Barulah pemerintah dan DPR mau berbicara. Namun dia menyayangkan tidak ada pembicaraan yang melibatkan pengusaha mengenai kebijakan tersebut.
"Setelah ribut-ribut menterinya (Sandiaga Uno) baru ngomong, omongannya kalau buat kita di industri ngambang-ngambang aja. Jadi apakah solusi? Belum, masih jauh," terang dia.
Baca Juga: Menko Airlangga Tindaklanjuti Tarif Pajak Jasa Spa di Bali
Baca Juga: Menparekraf Respons Protes Hotman Paris soal Pajak Spa 40 Persen
Dia pun juga menyinggung pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu yang meminta pengenaan pajak ini dihentikan.
Lourda menilai pernyataan Luhut tersebut menjadi bukti bahwa koordinasi pemerintah antar kementerian tidak dalam kondisi baik.
"Sampai akhirnya LBP ngomong, tapi apa otoritas LBP dalam hal ini? Pemerintah tidak terkoordinasi dengan baik, dua periode tidak terkoordinasi dengan baik," tegasnya.
Tudingan Pajak untuk Infrastruktur
Dia menduga, ditetapkannya kebijakan pajak yang tinggi ini sebagai konsekuensi karena pemerintahan Presiden Jokowi terlalu fokus mengurus infrastruktur. Di sisi lain justru mengabaikan iklim industri lainnya.
"Terakhir pemerintah tidak memperhatikan unsur lain di republik ini selain infrastruktur, yang diurusin infrastruktur akhirnya jadi PR seseorang akibatnya utang naik," jelas dia.
Pemberlakuan pajak hiburan sebesar 40-75 persen, termasuk spa di dalamnya dinilainya telah turut merampok pengusaha spa hanya untuk membantu membayar utang pemerintah.
Baca Juga: 3 Negara ASEAN Ini Kalahkan Tren Positif SDGs Indonesia
Baca Juga: INDEF Sebut Kemiskinan Ekstrem Jadi PR Besar Capres-Cawapres
Padahal menurut Lourda, pengusaha spa seperti dirinya seharusnya sama sekali tidak dikenakan pajak atau nol persen.
Pasalnya, bisnisnya yang digelutinya tersebut masuk kategori kebugaran yang bisa meningkatkan kesehatan dan menekan beban iuran BPJS Kesehatan. Serta telah memberikan pendidikan sertifikasi untuk pekerja jasa spa.
"Pajak sebaiknya 0% karena wellness tourism membantu pemerintah di bidang BPJS. Pemerintah sudah bilang nggak sanggup bayar BPJS kalau masyarakatnya sakit-sakitan. Pada jaga deh kesehatan masing-masing," imbuhnya.
Merujuk pada UU HKPD Nomor 1 Tahun 2022, pajak hiburan dikategorikan sebagai objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Dalam Pasal 58 UU itu ditetapkan tarif PBJT paling tinggi 10 persen.
Baca Juga: Pembangunan Berkelanjutan Tak Menjadi Topik Familiar bagi Capres-Cawapres
Namun, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Dalam hal itu tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. PBJT dalam UU itu dipungut oleh pemerintah kabupaten atau kota.
Namun menurutnya, tidak ada di bagian dunia manapun yang menetapkan pajak hiburan sebesar di Indonesia.
"Cek di dunia mana ada yang pajaknya sampai segitu," tegasnya.