Menelisik Akar Tradisi Nyadran
Sejarawan Universitas Sebelas Maret, Rendra Agusta menerangkan kata "Nyadran" berasal dari kata "Sraddha" yang berarti keyakinan.
Tradisi nyadran, kata Rendra, biasanya digelar sekitar 30 hari menjelang Ramadan, atau sesuai dengan perhitungan tanggal baik dari pemangku adat setempat.
"Pada kalender penanggalan Jawa, nyadran biasanya digelar pada bulan Ruwah atau arwah, tanggal 10 Rajab, atau 15, 20, dan 23 Ruwah," kata Rendra saat dihubungi bakabar.com, Sabtu (18/3).
Baca Juga: Tradisi Unik saat Merayakan Tahun Baru Imlek di Indonesia
Lebih lanjut, Rendra menerangkan perayaan Shradda juga sudah ada dan tercatat pada prasasti Trilokyapuri I tahun 1408 Saka atau 1486 masehi.
Pada masa itu, sambung Rendra, tradisi nyadran diadakan Raja Majapahit, Girindrawardana untuk memperingati leluhurnya, Dyah Raniwijaya.
"Perayaan Shraddha juga tercatat pada manuskrip Negara Kertagama tahun 1264 Saka atau 1362 masehi, pada masa itu, Hayam Wuruk menggelar pesta untuk mengenang leluhurnya, Gayatri Rajapatni," paparnya.
Menurut Rendra, seiring berkembangnya jaman, nyadran turut beralkuturasi dengan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakatnya.
Maka, doa-doa dan cara melakukannya pun terus kian beragam meskipun inti atau acara utama dan ujubnya sama, yakni ucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus mengenang arwah para leluhur.
Baca Juga: Bakar Batu hingga Meriam Bambu, Ini 5 Tradisi Perayaan Natal di Indonesia Timur
Walaupun sepintas terlihat mirip dan caraya serupa, Nyadran tidak sama dengan merti dusun atau kenduren.
Perbedaanya, jika merti dusun, digelar untuk peringatan ucapan syukur atas hasil bumi dan kehidupan yang telah diberikan Tuhan yang Maha Esa kepada manusia, dengan cara berdoa dan membersihkan lingkungan tempat tinggal.
Sedangkan kenduren, serupa merti dusun, hanya saja ketika pulang, para pesertanya akan diberikan nasi dan lauk pauk yang kerap disebut masyarakat sebagai nasi berkat.