Tradisi Menyambut Ramadan

Menyusuri Tradisi Nyadran di Lereng Damalung

Sorot matahari belum utuh membuka gelapnya Damalung yang merupakan nama lain dari Gunung Merbabu. Di penghujung subuh itu tungku perapian biyung sudah membara.

Featured-Image
Warga Dusun Bateh, Kelurahan Bawang, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang menyusuri jalan desa sembari menyunggi tenong yang akan mereka kumpulkan di makam leluhur. (Foto: apahabar.com/Arimbi Haryas)

bakabar.com, MAGELANG - Sorot matahari belum utuh membuka gelapnya Damalung yang merupakan nama lain dari Gunung Merbabu. Di penghujung subuh itu tungku perapian biyung sudah membara.

Ayam tetangga bersautan membangunkan sang empunya. Sedangkan para bapak yang baru saja pulang dari surau mulai menurunkan tenong sembari menghisap lintingan klembak menyan.

Tenong, wadah bambu berbentuk lingkaran yang digunakan untuk membawa makanan dan hasil bumi saat nyadran itu dikeluarkan satu tahun sekali.

Masing-masing keluarga wajib menyiapkan satu tenong berisi satu ingkung dan makanan lain sesuai kemampuannya, untuk nantinya disantap bersama-sama di makam.

Baca Juga: Sambut Ramadan, Warga Cungking Banyuwangi Gelar 'Resik Lawon'

Saat hari mulai terang, sekitar pukul 06.00 WIB, para lelaki yang ada di Dusun Bateh, Kelurahan Bawang, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang itu mulai keluar rumah mengenakan sarung, lengkap menggunakan kemeja rapi beserta peci.

Mereka berjalan beriringan menuju makam untuk melakukan tahlil dan membacakan doa-doa untuk menghormati para leluhur.

Setelah selesai, para laki-laki pulang ke rumahnya masing-masing untuk menjemput keluarga dan mengambil tenong.

Tenong itu selanjutnya dibawa dengan cara disunggi atau diletakkan di kepala dengan alas kain atau lap agar tidak licin untuk kembali dibawa ke makam setempat.

Tradisi Nyadran
Warga Dusun Bateh, Kelurahan Bawang, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang tengah berkumpul di sekitar makam. Di sana mereka mengumpulkan tenong, warga juga merapalkan doa untuk leluhur dan menyenandungkan salawat untuk keberkahan hidup warga. (Foto: bakabar.com/Arimbi Haryas)

Sesampainya di makam, tenong diletakkan berjajar lurus di atas tikar, masyarakat satu dan yang lain duduk bersebelahan.

Barisan tenong itu selanjutnya didoakan oleh pemangku adat setempat dengan tata cara Islam. Cara tersebut diyakini sebagai bentuk ucapan syukur sekaligus harapan agar makanan yang disantap senantiasa membawa keberkahan.

Setelah 2 tahun digelar dengan cara sederhana, akibat pandemi Covid-19, Nyadran di Dusun Bateh, Magelang pada 2023 ini terselenggara lebih meriah dan antusias.

Antusiasme Warga

Kepala Desa Bateh, Bambang mengatakan lebih dari 150 tenong dan ratusan warga terlibat pada acara nyadran kali ini.

"Satu rumah membawa 1 tenong, nanti sekeluarga wajib ikut semua, makan bersama di makam," katanya.

Masyarakat biasanya menyiapkan Nyadran dua hari sebelum acara, mulai dari membersihkan makam hingga memasak aneka sajian untuk dimasukkan ke tenong.

"Makanan yang wajib ada ingkung, atau ayam untuh yang dimasak sesuai selera," kata Bambang kepada bakabar.com.

Baca Juga: 6 Tradisi Unik Nusantara dalam Perayaan Isra Mikraj di Indonesia

Sedangkan sajian lainnya, Bambang menuturkan, tidak ada ketentuan resminya atau mengikuti kemampuan masing-masing keluarga saja.

Acara makan bersama saat nyadran di Bateh biasanya diiringi musik-musik Salawat sembari bersilaturahmi dengan para tetangga di desa.

Sementara itu, salah seorang warga yang mengikuti acara nyadran, Salmi (56) mengatakan, ia sudah mengikuti nyadran sejak masih kecil.

"Dari tahun ke tahun selalu meriah, anak-anak hingga yang sepuh (tua) berkumpul, makan bersama di makam," ujarnya.

Menelisik Akar Tradisi Nyadran

Sejarawan Universitas Sebelas Maret, Rendra Agusta menerangkan kata "Nyadran" berasal dari kata "Sraddha" yang berarti keyakinan.

Tradisi nyadran, kata Rendra, biasanya digelar sekitar 30 hari menjelang Ramadan, atau sesuai dengan perhitungan tanggal baik dari pemangku adat setempat.

"Pada kalender penanggalan Jawa, nyadran biasanya digelar pada bulan Ruwah atau arwah, tanggal 10 Rajab, atau 15, 20, dan 23 Ruwah," kata Rendra saat dihubungi bakabar.com, Sabtu (18/3).

Baca Juga: Tradisi Unik saat Merayakan Tahun Baru Imlek di Indonesia

Lebih lanjut, Rendra menerangkan perayaan Shradda juga sudah ada dan tercatat pada prasasti Trilokyapuri I tahun 1408 Saka atau 1486 masehi.

Pada masa itu, sambung Rendra, tradisi nyadran diadakan Raja Majapahit, Girindrawardana untuk memperingati leluhurnya, Dyah Raniwijaya.

"Perayaan Shraddha juga tercatat pada manuskrip Negara Kertagama tahun 1264 Saka atau 1362 masehi, pada masa itu, Hayam Wuruk menggelar pesta untuk mengenang leluhurnya, Gayatri Rajapatni," paparnya.

Tradisi Nyadran
Seorang warga terlihat serius menunggu detik-detik diselenggarakannya tradisi Nyadran di Dusun Bateh, Kelurahan Bawang, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. (Foto: bakabar.com/Arimbi Haryas)

Menurut Rendra, seiring berkembangnya jaman, nyadran turut beralkuturasi dengan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakatnya.

Maka, doa-doa dan cara melakukannya pun terus kian beragam meskipun inti atau acara utama dan ujubnya sama, yakni ucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus mengenang arwah para leluhur.

Baca Juga: Bakar Batu hingga Meriam Bambu, Ini 5 Tradisi Perayaan Natal di Indonesia Timur

Walaupun sepintas terlihat mirip dan caraya serupa, Nyadran tidak sama dengan merti dusun atau kenduren.

Perbedaanya, jika merti dusun, digelar untuk peringatan ucapan syukur atas hasil bumi dan kehidupan yang telah diberikan Tuhan yang Maha Esa kepada manusia, dengan cara berdoa dan membersihkan lingkungan tempat tinggal.

Sedangkan kenduren, serupa merti dusun, hanya saja ketika pulang, para pesertanya akan diberikan nasi dan lauk pauk yang kerap disebut masyarakat sebagai nasi berkat.

Editor


Komentar
Banner
Banner