bakabar.com, MAGELANG - Sorot matahari belum utuh membuka gelapnya Damalung yang merupakan nama lain dari Gunung Merbabu. Di penghujung subuh itu tungku perapian biyung sudah membara.
Ayam tetangga bersautan membangunkan sang empunya. Sedangkan para bapak yang baru saja pulang dari surau mulai menurunkan tenong sembari menghisap lintingan klembak menyan.
Tenong, wadah bambu berbentuk lingkaran yang digunakan untuk membawa makanan dan hasil bumi saat nyadran itu dikeluarkan satu tahun sekali.
Masing-masing keluarga wajib menyiapkan satu tenong berisi satu ingkung dan makanan lain sesuai kemampuannya, untuk nantinya disantap bersama-sama di makam.
Baca Juga: Sambut Ramadan, Warga Cungking Banyuwangi Gelar 'Resik Lawon'
Saat hari mulai terang, sekitar pukul 06.00 WIB, para lelaki yang ada di Dusun Bateh, Kelurahan Bawang, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang itu mulai keluar rumah mengenakan sarung, lengkap menggunakan kemeja rapi beserta peci.
Mereka berjalan beriringan menuju makam untuk melakukan tahlil dan membacakan doa-doa untuk menghormati para leluhur.
Setelah selesai, para laki-laki pulang ke rumahnya masing-masing untuk menjemput keluarga dan mengambil tenong.
Tenong itu selanjutnya dibawa dengan cara disunggi atau diletakkan di kepala dengan alas kain atau lap agar tidak licin untuk kembali dibawa ke makam setempat.
Sesampainya di makam, tenong diletakkan berjajar lurus di atas tikar, masyarakat satu dan yang lain duduk bersebelahan.
Barisan tenong itu selanjutnya didoakan oleh pemangku adat setempat dengan tata cara Islam. Cara tersebut diyakini sebagai bentuk ucapan syukur sekaligus harapan agar makanan yang disantap senantiasa membawa keberkahan.
Setelah 2 tahun digelar dengan cara sederhana, akibat pandemi Covid-19, Nyadran di Dusun Bateh, Magelang pada 2023 ini terselenggara lebih meriah dan antusias.