News

Menengok Silang Pendapat Hakim di Vonis Mardani H Maming

Dua dari lima hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion pada vonis uang pengganti Rp100 miliar terhadap terdakwa Mardani H Maming.

Featured-Image
Lima hakim yang mengadili kasus Mardani H Maming berbeda pendapat atas putusan uang pengganti. apahabar.com/Bani

bakabar.com, BANJARMASIN - Dua dari lima hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion pada vonis uang pengganti Rp100 miliar terhadap terdakwa Mardani H Maming.

Sebelumnya mantan orang nomor satu di Tanah Bumbu itu dituding menerima suap pada proses pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) semasa menjabat bupati.

Tak cuma hukuman uang pengganti, Mardani H Maming juga dijatuhi vonis 10 tahun penjara dalam sidang putusan yang digelar Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Jumat (10/2).   

Baca Juga: Soal Vonis MHM, Aktivis Kalsel Pertanyakan Independensi KPK-Hakim

Dua dari lima hakim yang mengadili Mardani yakni Ahmad Gawi dan Arif Winarno berpendapat bahwa hukuman uang pengganti tidaklah semestinya dijatuhkan.

Dissenting opinion muncul setelah Gawi dan Arif berpendapat bahwa tak ditemukan kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara yang menjerat mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia itu. 

Seperti diwartakan sebelumnya, majelis hakim yang diketuai Heru Kuntjoro memvonis bersalah Mardani karena didakwa menerima gratifikasi (hadiah) berupa suap dari mendiang Henry Soetio terkait penerbitkan SK IUP OP pertembangan.

Mardani dijerat Pasal 12 huruf b jo 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca Juga: Meresapi Ketegaran Mardani H Maming dari Selembar Pleidoi

Ahmad Gawi dan Arif Winarno dalam putusannya berpendapat apabila pasal yang diterapkan adalah 12 huruf b terkait gratifikasi berupa penerimaan suap oleh penyelenggara negara, berarti menjatuhkan hukuman uang pengganti merupakan kekeliruan.

Sebab, pemberian hukuman uang pengganti hanya dapat dilakukan apabila terjadi kerugian negara. Artinya, pasal yang diterapkan semestinya Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Uang pengganti hanya diperkenankan kepada terdakwa, apabila terbukti terjadi kerugian negara, sesuai Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi," papar Arif Winarno ketika membacakan pertimbangan dalam amar putusan.

Dalam pertimbangan mereka, Gawi dan Arif memasukkan pendapat pakar hukum Indriyanto Seno Adji dalam artikel di laman investasi.id berjudul 'Membayar Uang Pengganti, Terjadi Kekeliruan Besar'. Artikel itu menyatakan delik-delik suap jelas tidak berkaitan dengan uang pengganti.

Baca Juga: Mardani H Maming Divonis 10 Tahun, PWNU: Sepatutnya Bebas!

"Sehingga dengan adanya beban pembayaran uang pengganti, justru menandakan terdakwa tidak menerima suap, tetapi melakukan korupsi. Demikian pula pendapat ahli pidana DR Khairul Huda SH MH," tegas Arif.

Sementara tiga hakim lain, Heru Kuntjoro, Jamser Simanjuntak dan Aris Bawono Langgeng, berpendapat bahwa hukuman uang pengganti dijatuhkan ke Mardani mempertimbangkan Pasal 17 UU Korupsi.

Dalam pasal itu menyebut selain dapat dijatuhkan hukum pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5 sampai dengan pasal 11, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18. 

Pertimbangan lain adalah Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan uang pengganti dapat dijatuhkan untuk seluruh tindak pidana. 

Baca Juga: Tuntutan 10 Tahun, Upaya Jegal Mardani H Maming di Kancah Politik?

Masih mengacu Perma Nomor 5, penjatuhan hukuman uang pengganti dapat dijatuhkan selama harta benda hasil korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain.

Perbedaan pendapat dari majelis hakim itu pun turut menyorot perhatian Anang Rosadi Adenansi. Ketua DPW Gerakan Jalan Lurus (GJL) Kalimantan Selatan menyebut perbedaan pendapat itu memperjelas bagian maladministratif.

"Maladministratif adalah putusan yang tak berkesesuaian dengan pejabat ketika menggunakan IUP sebagai objek. IUP adalah izin usaha pertambangan dengan tambang sebagai objek," papar Anang.

"Pelepasan IUP itu tidak dengan merampas, merampok atau menzalimi orang lain, tetapi hanya business to business," sambung mantan anggota DPRD Kalimantan Selatan itu.

Baca Juga: Pembelaan Lengkap Mardani H Maming: Kebebasan Saya Dirampas!

Oleh karenanya, Anang menilai sangat wajar apabila Mardani merasa telah difitnah dalam perkara tersebut. "Oleh karena perkara berkaitan dengan peralihan IUP tambang, tetapi kemudian dibebankan uang pengganti Rp118 miliar, lantas di mana rasionalitas korupsi itu? Ini hanya business to business, lalu negara ikut masuk," tegas Anang.

Melihat duduk perkara pada tuntutan jaksa KPK dan putusan majelis hakim yang ditimpakan kepada Mardani, Anang melihat tak mengherankan kalau independensi jaksa KPK dan majelis hakim patut dipertanyakan.

"Jadi ini memang kasus menarik dan perlu diperhatikan berbagai pihak agar tidak  salah menghukum orang yang benar," tukas Anang.

Anang juga menyoroti soal pembelaan Mardani yang ke semuanya dikesampingkan oleh majelis hakim. Sementara dalam fakta-fakta persidangan, ditemukan beberapa kejanggalan.

Di antaranya soal keterangan saksi yang hanya mendengar dari perkataan orang lain, hingga kejanggalan catatan kaki SK pengalihan IUP dijadikan barang bukti oleh jaksa KPK. 

Baca Juga: Saksi JPU: Nama Mardani H Maming Tidak Ada di Perusahaan

"Terlihat majelis hakim tidak cermat dalam mengambil keputusan, sehingga putusan Mardani memang terlihat dipaksakan. Ini bukan orang yang tertangkap tangan, tetapi peralihan IUP," lanjutnya.

Anang juga mengkritik KPK yang terkesan asal-asalan dalam menghukum Mardani H Maming karena tuntutan 10 tahun beserta uang pengganti ratusan miliar rupiah.

"Semestinya KPK jangan menunjukkan arogansi dan seolah-olah sebagai institusi yang tak bisa diintervensi oleh pihak lain," ketus Anang.

"Dalam perkara Mardani, sangat jelas terlihat sesuatu di balik persoalan ini dan dicampuri invisible hand atau tangan yang tidak terlihat. Makanya saya menginginkan Mardani harus mengambil langkah banding, karena terdapat ketidakadilan dalam putusan itu," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner