bakabar.com, BANJARMASIN - Putusan hakim yang menyatakan Mardani H Maming atas kasus korupsi pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tengah ditinjau ulang.
Peninjauan Ulang (PK) yang dilakukan atas permohonan Maming bersama kuasa hukumnya itu dilakukan lantaran adanya dugaan kekhilafan yang dilakukan hakim dalam memutus perkara tersebut.
Tadi siang Senin (4/3), sidang lanjutan PK yang diajukan Maming kembali digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin.
Lagi-lagi Maming hanya bisa mengikuti secara virtual dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Suka Miskin, Jawa Barat meski Majelas Hakim yang diketuai Suwandi telah memerintahkan agar Maming dapat dihadirkan langsung.
Bahkan 28 Februari 2024 lalu, majelis hakim telah kembali mengirimkan surat penetapan ke Lapas Sukamiskan. Namun pihak Lapas tetap tak memberikan izin.
“Padahal 28 Februari lalu kami sudah bersurat melalui email. Karena kalau melalu delegiasi tak memungkinkan,” kata Hakim Ketua Suwandi.
Tanpa kehadiran Maming langsung, sidang yang turut dihadiri Tim Kuasa Hukum Maming, serta Jaksa Penuntu KPK itu pun dilanjutkan.
Dalam sidang, Kuasa Hukum Maming menghadirkan dua ahli. Mereka adalah Doktor Muhammad Arif Setiawan dan Profesor Doktor Ridwan.
Kedua ahli ini merupakan akademisi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Doktor Arif Setiawan adalah dosen hukum pidana, sementara Profesor Doktor Ridwan dosen hukum administrasi negara.
Menariknya, Doktor Arif Setiawan adalah salah satu akademisi yang turut terlibat dalam proses eksaminasi atau pengujian terhadap putusan perkara Mardani H Maming.
Alasan dilakukan eksaminasi terhadap putusan itu selain dilatarbelakangi keperluan akademik, juga lantaran putusan cukup menarik untuk diuji.
“Eksaminasi dilakukan terhadap perkara menarik,” ujar dosen ahli hukum pidana ini.
Dari hasil eksaminasi itu lah, muncul kesimpulan adanya kekhilafan yang dilakukan hakim dalam memutus perkara korupsi yang dilakukan mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut.
Kekhilafan itu berupa tak ditemukannya meeting of mind yang semestinya menjadi alasan kuat untuk dipertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara.
“Setelah membaca putusan, ahli tak menemukan adanya meeting of mind dalam pemberian. Hanya satu pihak. Itulah yang menjadi kekhilafan hakim,” ujarnya.
Kemudian juga soal adanya hukuman tambahan berupa uang pengganti (UP) Rp110 miliar lantaran dinilai adanya kerugian negara yang muncul akibat perkara korupsi tersebut.
Namun kata Arif Setiawan dari hasil eksaminasi bahwa uang yang diterima Maming adalah hasil dari bisnis perusahan yang dijalankan oleh pihak keluarga.
“Sebagian putusan hakim mengakui itu perusahan keluarga. Pemberian itu dari saudaranya. Bagaimana itu disebut sebagai suap,” jelasnya.
Semantara itu, ahli hukum administrasi negara, Profesor Doktor Ridwan dalam penjelasnya pemindahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) memang kewenangan seorang bupati.
“Yang tidak boleh melakukan pengalihan itu pemilik IUP. Itu jelas diatur dalam undang-undang. Kalau bupati yang melakukan memang kewenanganya,” jelas Ridwan.
Usai sidang, Kuasa Hukum Maming, Yasir Arafat menilai dari penjelsaan ahli khusunya pidana sudah sangat jelas bahwa ada kekhilafan yang terjadi dalam putusan hakim.
“Bahwasanya dalam hal ini memang tidak ada pembuktian mengenai meeting of mind sehingga dalam keterangan ahli tadi hanya berdiri sendiri,” kata Yasir.
Mereka pun berharap semua penjelasan yang disampaikan ahli yang telah dihadirkan dapat menjadi bahan pertimbangan majelis hakim.
“Semoga apa yang disampaikan ahli bisa dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusan peninjauan kembali ini,” harapnya.
Adapun sidang selanjutnya, akan kembali digelar pada Kamis 14 Maret 2024 mendatang, dengan agenda mendengarkan pendapat Jaksa Penuntut KPK atas penjelasan ahli.