Transaksi Mencurigakan

Istri Kapolres Kotabaru: Harta Rp4,3 Miliar dan Pernah jadi Wakapolres

Kompol Silfia Sukma Rosa, istri dari Kapolres Kotabaru, AKBP Tri Suhartanto mengantongi harta senilai Rp4,3 miliar.

Featured-Image
Wakapolres Cianjur, Jawa Barat, Kompol Silfia Sukma Rosa menyerahkan bantuan langsung tunai pada penerima pelaku usaha kecil mikro di Aula Mapolres Cianjur, Sabtu (9/4/2022). ANTARA/Ahmad Fikri/am.

Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan mengendus laporan transaksi mencurigakan senilai Rp300 miliar di dalam rekening AKBP Tri.

Sedianya, Tri sendiri telah membantahnya. Alumnus Akpol 2004 itu menyebut uang segede itu tak ada kaitannya dengan posisi tugasnya saat di KPK maupun Polri. Setali tiga uang, KPK menyebut bahwa uang tersebut adalah hasil bisnis pribadi Tri.

Baca Juga: Cek Gaya Hidup Kapolres Kotabaru, Pemilik Transaksi ‘Gendut’ 300 M

KPK mestinya tak boleh percaya begitu saja. Angka tersebut terlampau tak wajar. Terlebih bagi seorang polisi. Lantas bolehkah seorang polisi berbisnis? Pakar hukum maupun peneliti kepolisian kompak tak setuju.

Bagi Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, misalnya, tak elok jika polisi berbisnis.

"Secara prinsip tak boleh berbisnis. Rawan konflik kepentingan dan berpotensi abuse of power untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya," jelas Castro sapaan karibnya kepada bakabar.com.

Baca Juga: DPR Sebut Transaksi 'Gendut' Kapolres Kotabaru Coreng Reputasi Polri

Selaras dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2/2003 tentang disiplin anggota kepolisian. Beleid itu sebenarnya telah melarang anggota kepolisian berbisnis.

Namun dilemanya, Peraturan Kapolri Nomor 9/2017 berkata lain. Beleid satu ini justru memberi lampu hijau untuk anggota Polri boleh berbisnis. "Ini kan kontradiktif," jelasnya.

Fakta bahwa AKBP Tri memiliki Rp300 miliar di rekeningnya berangkat dari keterangan mantan penyidik KPK, Novel Baswedan. Dalam sebuah poadcast, Novel pun menyayangkan sikap lunak KPK yang membiarkan Tri begitu saja kembali ke institusinya. Malahan sampai mendapat promosi sebagai kapolres.

"Seharusnya KPK tak pandang bulu mengusut kasus korupsi," begitu kata Novel.

Kapolri sebenarnya sudah angkat bicara merespons pemberitaan seputar AKBP Tri. Jenderal Listyo Sigit memerintahkan tim profesi dan pengamanan atau propam untuk memeriksa AKBP Tri. Namun istilah jeruk makan jeruk bisa saja berlaku di sini.

Baca Juga: IPW Minta Propam Bernyali Usut Transaksi 'Gendut' Kapolres Kotabaru

Makanya, untuk memudahkan proses penyelidikan, Castro melihat sebaiknya Tri dinonaktifkan dulu dari jabatannya.

"Sebaiknya yang bersangkutan diberhentikan dulu sementara agar lebih fokus menjalani pemeriksaan," kata Castro.

Penonaktifan Tri menjadi penting. Salah satunya demi menghindari potensi penghilangan barang bukti. "Kewenangan yang bersangkutan masih ada jika masih menjadi polisi aktif," jelas Castro.

Apalagi jika berkaca dari kasus Ismail Bolong. Castro turut menyarankan agar perkara AKBP Tri ditelisik oleh aparat penegak hukum lain. Bolong merupakan mantan polisi dari Samarinda. Ia terjerat perkara suap tambang ilegal. Di tangan kepolisian, kasus Bolong tak kunjung naik ke tahap persidangan.

"Sebaiknya dinonaktifkan, agar jauh lebih objektif. Tak terkesan jeruk makan jeruk. Rentan upaya menyelamatkan anggota korps-nya sendiri," jelas Castro.

Masyarakat perlu tahu. Penonaktifan bukan berarti pencopotan. Bambang Rukminto peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) sepakat dengan Castro.

Baca Juga: Kompolnas Sarankan Kapolres Kotabaru Segera Dinonaktifkan!

"Hanya dinonaktifkan sementara waktu untuk mempermudah pemeriksaan. Kalau nyatanya tak terbukti ada pelanggaran, tentu bisa langsung diaktifkan kembali."

Makanya, Bambang menyarankan agar proses pemeriksaan di Propam jangan memakan waktu yang lama. Tujuannya, untuk memberikan asas kepastian hukum.

"Ini penting dilakukan sekaligus untuk menunjukkan responsibilitas seperti jargon 'Presisi Kapolri'," ujar Bambang.

Sebagai legitimasi tindakan anggota Polri, Bambang melihat Perkap nomor 9/2017 justru membuka peluang penyalahgunaan kewenangan. Sebab, sarat dengan konflik kepentingan.

Ya, negara begitu besar memberi kewenangan kepada Polri khususnya kapolri. Sebagai contoh, di zaman Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD), seorang anggota Polri boleh beristri lebih dari satu atau poligami. Namun di era Kapolri Idham Azis, Perkap warisan BHD yang diketahui beristri dua itu dicabut.

Baca Juga: Kapolri: Propam Usut Transaksi 'Gendut' Kapolres Kotabaru!

"Begitulah risiko bila menjadi lembaga superpower. Peraturan dibuat-buat sendiri, disesuaikan dengan kepentingan pragmatis," jelasnya.

Sebelum isu rekening gendut AKBP Tri mencuat, kepercayaan publik terhadap Polri sudah tergerus buntut peristiwa penembakan Duren Tiga, skandal Teddy Minahasa dan Tragedi Kanjuruhan.

Publik tentu saja menanti keseriusan dari Kapolri Listyo Sigit untuk membenahi internal mereka. "Pada akhirnya semua tergantung komitmen, konsistensi dan integritas sosok kapolri. Kalau kapolri-nya baik, baik pula Polri-nya, demikian juga sebaliknya bila visi sosok kapolri hanya pragmatis," pungkas Bambang.

Respons Kapolri 

Kapolri
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Foto: bakabar.com/ Farhan)

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut Divisi Propam Polri tengah memeriksa Kapolres Kotabaru, AKBP Tri Suhartanto yang terendus bertransaksi senilai Rp300 miliar.

Baca selengkapnya di halaman selanjutnya: 

HALAMAN
12345
Editor


Komentar
Banner
Banner