Katsaing tidak ingin, ketidakterbukaan mengenai upah pekerja tersebut hanya sebatas isapan jempol. Namun tidak ada langkah kongkrit yang dilakukan oleh BPJS untuk memastikan transparansi upah itu bisa berjalan.
"Jadi jangan sampai hak pekerja ini terdzolimi kemudian itu BPJS sudah tahu kemudian langkah-langkah yang diambil oleh BPJS tidak ada," jelasnya.
Baca Juga: Menperin Akui Perbedaan Budaya Picu Kecelakaan Kerja di Smelter
Baca Juga: Ledakan Smelter Morowali Terus Berulang, Menperin Siapkan Sanksi
Katsaing melanjutkan ketidakterbukaan mengenai data upah yang diberikan ke BPJS berimbas pada hak asuransi ketenegakerjaan yang seharusnya diterima pekerja.
"Sebenarnya kan tidak ada sangkut pautnya tuh. Kecuali pengusaha tidak mendaftarkan secara utuh ke BPJS Itu kan persoalannya di situ," terangnya.
Dia menduga perusahaan smelter di Morowali tidak mendaftarkan data upah rill para pekerja, karena menghindari pembayaran santunan dengan persentase yang besar.
Baca Juga: Bos PT IMIP Bantah Tudingan Tak Berikan Hak Pekerja di Smelter
Pasalnya, imbuh Katsaing, asuransi ketenagakerjaan secara akumulatif diatur berdasarkan persentasenya. Dalam hal ini ada yang dari pemerintah dan pengusaha.
"Jadi ada berapa persen yang dibayar oleh pengusaha di situ. Nah melalui upah tersebut. Sehingga para pekerja itu didaftrakan lebih kecil gitu," pungkasnya.