News

Poin-poin Perppu Ciptaker: Dari Jatah Libur hingga Pesangon PHK

Berikut poin-poin penting dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Featured-Image
Unjuk rasa yang dilakukan buruh dan pekerja untuk menolak UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA - Berikut poin-poin penting dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Perppu Ciptaker, Jumat (30/12). Dalam salinan isi lengkap, peraturan ini berisi 1.117 halaman dan 186 pasal.

Diketahui peraturan itu mengisi kekosongan hukum, seiring UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang ditetapkan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam putusan yang dijatuhkan November 2021, MK memerintahkan Pemerintah dan DPR memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun. 

Selain mengisi kekosongan, Perppu Ciptaker berdampak terhadap 75 Undang-Undang lain, baik penghapusan sejumlah pasal, penambahan ataupun perubahan isi aturan.

Mulai dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, BPJS, perbankan syariah, penataan ruang, hingga aturan soal investasi.

Berikut poin-poin penting dalam Perppu Ciptaker yang dikutip dari CNN:

Penghapusan 2 Hari Libur

Penghapusan hak dua hari libur dalam sepekan untuk pekerja diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b yang berbunyi:

Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi;

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Aturan ini jelas bertolak belakang dengan kebijakan dalam UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana Pasal 79 menyatakan, istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam seminggu.

Perppu Ciptaker juga tidak membahas mengenai cuti panjang 2 bulan yang diberikan untuk pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut.

Dalam Pasal 79 ayat (5) tetap menyebutkan adanya istirahat panjang, tapi tidak mengatur ketentuan teknis dan hanya berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian kerja. Berikut bunyinya:

Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Ketentuan waktu libur menjadi salah satu kontroversi, ketika UU Cipta Kerja diterbitkan. Salah satunya soal hak libur untuk pekerja yang menjadi hanya sehari dalam sepekan.

Pekerja Kontrak

Aturan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dijelaskan dalam Pasal 59 yang telah diubah.

Syarat pekerjaan yang masuk kategori PKWT dijelaskan Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi;

"Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu," tulis pasal tersebut.

Pekerjaan yang dimaksud ialah pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara, pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu yang terlalu lama, serta pekerjaan musiman.

Kemudian pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk dalam percobaan atau penjajakan, atau pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatan bersifat tidak tetap.

"Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap," bunyi Pasal 59 ayat (2).

PKWT yang tak memenuhi ketentuan dalam ayat (1) dan (2) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) demi hukum.

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tak hanya itu, dipaparkan juga perihal perjanjian kerja berakhir hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Hal itu dirinci dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a sampai e, yakni:

a. pekerja/buruh meninggal dunia,

b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja,

c. selesainya suatu pekerjaan tertentu,

d. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau

e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja.

Ditegaskan bahwa perjanjian kerja tidak berakhir, karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

"Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak Pekerja/Buruh," demikian bunyi Pasal 61 ayat (3).

Kemudian dalam ayat (5) dijelaskan bahwa dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-hak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Baca Juga: Presiden Terbitkan Perppu Cipta Kerja, Prof Denny: Pelecehan Konstitusi

HALAMAN
12
Editor


Komentar
Banner
Banner