bakabar.com, JAKARTA - Ibu terduga pelaku klitih bernama Hanif, Subadriyah mengatakan anaknya ditangkap dan digiring tanpa disertai surat penangkapan serta mengalami penyiksaan dan penganiayaan di Polsek Sewon.
Hal ini diungkap Subadriyah saat mengadukan kepiluan yang dialami anaknya yang terjerat kasus ke Amnesti International Indonesia (AII), Selasa (7/3) kemarin.
"Saat bermain dengan temannya Dito, saat penangkapan tidak membawa surat, dan anak saya langsung dibawa ke Polsek Sewon, di sana anak saya mengalami penyiksaan, Hanif dibawa ke lantai dua langsung dipukuli dan matanya ditutup" Kata Subdriyah.
Baca Juga: Korban Kasus Klitih Disiksa, Amnesty: Ini Pelanggaran HAM Berat
Ia menceritakan, polisi memaksa Hanif mengakui perbuatannya yang sama sekali tidak ia lakukan. Saat dicecar Hanif tidak bisa menjawab karena sama sekali tidak mengetahui kejadian klitih yang menewaskan Daffa.
"Tiap polisi nanya, polisi langsung mukul, anak saya tidak tahu apa-apa, dia suruh ngaku padahal dia nggak tahu apa-apa," ujarnya.
Bahkan Hanif ditodong pistol oleh polisi agar mengakui perbuatannya. Dengan mata tertutup polisi menginterogasi Hanif sambil menodongkan pistol di anak tangga lantai 2 Polsek Sewon.
"Anak saya matanya ditutup, di anak tangga ditarik terus kakinya ditodong pistol, polisi ngancam, pilih kiwo opo tengen?, (pilih kanan apa kiri?), itu langsung dipukuli terus," jelasnya.
Baca Juga: Lemkapi Desak Pelaku Suap Penerimaan Calon Polisi Dipidana!
Lebih lanjut Subadriyah baru bisa berjumpa dengan Hanif 11 hari usai ditangkap. Hanif mengaku tak pernah melakukan klitih sebagaimana yang dituduhkan polisi.
Subadriyah menceritakan, kondisi anaknya sangat memprihatinkan, pelipis matanya merah, bibirnya bengkak, dan tubuhnya terlihat sangat kurus dari sebelumnya.
"Demi Allah Bu, saya tidak melakukan klitih," ujar Subadriyah saat menirukan perkataan Hanif.
Sementara, terduga pelaku klitih lainnya, Fandi juga mengakui hal serupa dengan diinjak kukunya dengan kursi oleh polisi. Pukulan bertubi-tubi membuatnya babak belur dan akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang tak ia lakukan.
"Karena sudah tidak kuat lagi, akhirnya 4 hari setelah ditangkap, anak saya terpaksa mengaku," kata Ibu Fandi, Wahyuni.
Kejanggalan Kasus
Pihak keluarga menceritakan kejanggalan-kejanggalan kasus yang menimpa anak-anak mereka. Kejanggalan-kejanggalan tersebut dinilai sebagai bukti rekayasa yang dilakukan polisi untuk menangkap kelima anak tersebut.
Kejanggalan pertama yaitu terdakwa dibawa polisi untuk menjadi saksi peristiwa perang sarung yang terjadi di kawasan Druwo. Namun mereka malah disangka dengan peristiwa klitih Gedongkuning di Sewon yang berbeda 8 Km jaraknya dari lokasi.
"Polisi menangkap mereka untuk alasan sebenarnya perang sarung. Dijemput karena perang sarung. Tapi kemudian ditersangkakan untuk klitih di Gedongkuning," ungkap relawan yang mendampingi ibu para korban, Adriani.
Adriani kembali menceritakan, pihak keluarga melacak riwayat Google Maps dari ponsel Hanif yang sudah diterima keluarga pasca penyidikan. Awalnya, semua aplikasi sudah dihapus oleh penyidik. Kemudian keluarga memulihkan datanya. Dari situ baru diketahui bahwa jarak TKP klitih dengan posisi Hanif saat ini berjarak 8 km.
Baca Juga: GP Ansor Desak Polisi Bongkar Identitas APA, Diduga Provokator
"Padahal jaraknya 8 km dari TKP, kalau kita lihat timeline yang dibuat polisi sangat tidak masuk akal," ujarnya.
Kemudian di saat persidangan, saksi yang dihadirkan yang merupakan teman-teman terdakwa dikesampingkan di persidangan. Kesaksian mereka ditolak lantaran mereka adalah teman dari tersangka.
Selanjutnya kejanggalan rekaman CCTV yang dijadikan bukti saat persidangan. Video dari CCTV tersebut sudah diturunkan resolusinya menjadi format kecil 3gp. Sehingga tidak bisa mengindentifikasi dengan jelas pelakunya.
Akhirnya pihak keluarga kelima terdakwa mengajukan agar rekaman itu diperiksa ahli. Namun hasil dari pemeriksaan para ahli tidak bisa menyimpulkan CCTV diambil dengan cara tak wajar.
Baca Juga: Pelaku Pembuangan Bayi di Warkop Dua Pekan Lalu Diamankan Polisi
Video CCTV Jogkem Gedongkuning diambil dari kamera eksternal yang merekam layar monitor yang menayangkan CCTV asli di Gedongkuning. Kamera eksternal yang digunakan untuk merekam pun berwarna hitam-putih dan beresolusi rendah. Rekaman CCTV itu juga telah diubah formatnya menjadi 3gp.
"Jadi orang tua-orang tua ini pascakejadian keliling ke TKP. Kemudian titik di mana pengakuan anak-anak mereka sedang di mana pada waktu itu. Dari titik yang TKP itu sulit karena polisi sudah mengintimidasi para pemilik CCTV sekitar untuk menyembunyikan," pungkasnya.