Pemilu 2024

Pengadilan Minta KPU Tunda Pemilu, Pakar: Keliru!

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) mengabulkan gugatan perdata Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Featured-Image
Warga memasukan surat suara yang telah dicoblos dalam Pemilu 2019. Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai keliru putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda Pemilu 2024.

Perintah penundaan Pemilu 2024 tersebut sebelumnya tertuang dalam putusan perdata yang diajukan Partai Prima dengan KPU sebagai tergugat, Kamis (2/3).

Sebelumnya gugatan perdata dilayangkan Partai Prima, setelah merasa dirugikan  KPU yang melakukan verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu. Dalam verifikasi ini, Partai Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat dan gagal mengikuti verifikasi faktual.

Baca Juga: Jelang Pemilu 2024, KPK Harap Politik Bersih dari Korupsi

Padahal jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat, ternyata juga dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan.

Partai Prima juga menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi, sehingga menyebabkan keanggotaan partai politik ini dinyatakan tidak memenuhi syarat di 22 provinsi.

Namun demikian, putusan PN Jakpus bertolak belakang dengan penilaian pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Gotong Royong ini menilai hakim telah keliru membuat putusan.

Dicap Adopsi Hukum Adolf Hitler, Yusril Pertanyakan Produk Hukum Era SBY
Yusril Ihza Mahendra. 

"Sejatinya gugatan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni gugatan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara," papar Yusril, Jumat (3/3).

Baca Juga: SBY Persoalkan Urgensi Perubahan Sistem Pemilu 2024

"Dalam gugatan perdata biasa seperti itu, sengketa yang terjadi adalah antara penggugat (Partai Prima) dan tergugat (KPU), tapi tidak menyangkut pihak lain. Tak satu pun yang terkait, selain dari tergugat atau para tergugat dan turut tergugat," imbuhnya.

Oleh karena itu, Yusril berpendapat bahwa keputusan mengabulkan dalam sengketa perdata biasa, hanya mengikat penggugat dan tergugat saja, tidak dapat mengikat pihak lain. 

Berbeda dengan putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara seperti pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi, atau peraturan lain oleh Mahkamah Agung, "Putusan yang dikeluarkan akan berlaku untuk semua orang (erga omnes)," tegas Yusril.

Baca Juga: Jelang Pemilu 2024, KPK Harap Politik Bersih dari Korupsi

"Dalam kasus Partai Prima, gugatan yang dikabulkan majelis hakim hanya mengikat Partai Prima sebagai penggugat dan KPU sebagai tergugat. Namun tidak mengikat partai-partai lain maupun calon yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu," sambungnya.

Yusril berkesimpulan kalau hakim PN Jakpus berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, tanpa harus mengganggu partai-partai lain dan maupun tahapan pemilu.

"Ini pun sebenarnya bukan materi gugatan perbuatan melawan hukum, tetapi gugatan sengketa administrasi pemilu yang harus dilakukan di Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara," jelas Yusril.

"Malah semestinya majelis menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan niet ontvankelijke verklaard (NO) atau gugatan tidak dapat diterima karena pengadilan negeri tidak bewenang mengadili perkara tersebut," tandasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner