Polemik RUU Kesehatan

Isi RUU Kesehatan, Tembakau Setara Narkotika: Mematikan Hajat Hidup Orang Banyak

Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menolak pasal zat adiktif pada RUU Kesehatan yang tengah digodok oleh pemerintah dan DPR.

Featured-Image
Petani memanen daun tembakau jenis gagang sidi di Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (05/10).Foto – Antara/Destyan Sujarwoko.

bakabar.com, JAKARTA - Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menolak pasal zat adiktif pada RUU Kesehatan yang tengah digodok oleh pemerintah dan DPR. Beleid kesehatan tersebut dinilai bakal mengebiri ekosistem pertembakauan nasional.

Para petani, tenaga kerja di Industri tembakau, pedagang rokok, dan pekerja di sektor pertembakauan akan kehilangan pekerjaan dengan adanya pasal tersebut.

Baca Juga: RUU Kesehatan Dinilai akan Merugikan Petani Tembakau di Temanggung

 Juru Bicara KNPK, Moddie Alvianto Wicaksono menyebut, ketentuan pasal penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika merupakan hal yang tak layak dan merugikan ekosistem pertembakauan nasional. Mengingat, tembakau merupakan produk yang legal dikonsumsi, sementara narkotika dan psikotropika merupakan produk ilegal dikonsumsi.

“Salah satunya ini akan berdampak dari Pasal 154 yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika. Petani tidak akan bisa menanam tembakau karena akan dianggap tanaman ilegal padahal nilai ekonominya sangat tinggi. Buruh pabrik kretek dapat terkena PHK secara menyeluruh. Para perokok akan mendapatkan stigma jahat karena mengonsumsi barang ilegal,” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (27/5).

Baca Juga: RUU Kesehatan Jadi Ancaman bagi Nakes dan Kualitas Layanan Kesehatan

Tumpang Tindih Regulasi

Moddie juga menilai sejatinya pengaturan soal tembakau yang ada dalam draf RUU Kesehatan bukan hanya berlebihan, melainkan juga tumpang tindih dengan beberapa regulasi yang ada saat ini. Pertama soal standardisasi kemasan produk tembakau yang tercantum pada pasal 156, termasuk di dalamnya soal peringatan kesehatan.

Ketentuan soal peringatan kesehatan sudah diatur pada PP 109/2012. Sementara soal standardisasi kemasan dan jumlah batang dalam kemasan sudah diatur dalam PMK 217/2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai.

Tumpang tindih antar regulasi ini tidak hanya kontraproduktif dengan tujuan pemerintah dalam upaya pemangkasan regulasi, melainkan juga dapat mengganggu iklim berusaha di tanah air.

Baca Juga: [FOTO] Ribuan Nakes Bersatu Melawan RUU Kesehatan Omnibus

“Ada lagi, Pasal 157 pada RUU Kesehatan yang akan menghilangkan kewajiban dalam menyediakan tempat khusus merokok. Ini tentu sama saja dengan menghilangkan hak konstitusi perokok yang dijamin dalam UU 36/2009 atau UU Kesehatan sebelumnya. Jika sampai disahkan, maka ini akan merugikan bagi perokok dewasa. Karena bagaimanapun rokok merupakan barang legal, sehingga wajib disediakan ruang merokok,” sambung Moddie.

Industri Hasil Tembakau

Moddie menambahkan agar pemerintah dan DPR yang tengah menggodok RUU Kesehatan ini mengeluarkan pasal-pasal terkait tembakau dari RUU tersebut. Sebab menurut Moddie imbas dari matinya Industri Hasil Tembakau bukan hanya akan dirasakan oleh pelakunya, melainkan juga bagi pemerintah sendiri.

Maklum saja, Industri Hasil Tembakau berkontribusi hingga 10 persen dari penerimaan negara melalui pajak dan cukai atau setara Rp 260 triliun. Ini belum menghitung dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan rantai industrinya yang imbasnya akan dirasakan oleh jutaan tenaga kerja.

Baca Juga: RUU Kesehatan Jalan Tengah Kewenangan Berlebihan IDI?

“KNPK menolak RUU Kesehatan karena akan mengancam sekaligus mematikan hajat hidup pelaku industri hasil tembakau. Kami juga mendorong agar pasal terkait pengaturan produk tembakau dalam RUU Kesehatan ini bisa dicabut agar tidak menimbulkan polemik bagi Industri Hasil Tembakau,” pungkas Moddie.

Editor


Komentar
Banner
Banner