Bisnis Dan Lingkungan Hidup

Gawat! Pemerintah menjadi Instrument Bisnis, Bahkan Negara

Walhi menyesalkan kandidat yang maju pilpres ternyata masih mendukung sejumlah sektor yang dianggap memberi dampak buruk terhadap lingkungan.

Featured-Image
Peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup 2023, Ruang Tempo, Selasa 31 Januari 2023. Foto: Walhi

bakabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi menyesalkan pada setiap momen pilpres, kandidat yang maju ternyata masih mendukung sejumlah sektor yang dianggap memberi dampak buruk terhadap lingkungan hidup. 

Sebut saja sektor tambang, sawit dan kayu hutan. Demikian pernyataan Zenzi saat Peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup 2023, Ruang Tempo, Selasa 31 Januari 2023.

“Kami melihat setiap presiden masih mendukung sektor yang menguasai tambang, sawit, dan kayu,” ungkapnya. 

WALHI, kata Zenzi, terus mengamati dan menemukan fakta bahwa pemerintah menjadi instrument dari bisnis. “Seharusnya bisnis yang menjadi instrument negara dalam pembangunan," ujarnya.

Baca Juga: Deforestasi IKN Ancam Keselamatan, Walhi: Megaproyek Ini Harus Dibatalkan!

Yang terjadi dalam tiga tahun terakhir justru sebaliknya. "Kami melihat lebih parah bukan hanya pemerintah yang menjadi instrument bisnis, tetapi juga negara,” katanya.

Untuk itu, WALHI menawarkan rumusan resolusi untuk menjadi agenda bersama, yang merupakan Tinjauan Lingkungan Hidup 2023, yakni: Pertama, perbaikan sistem legislasi yang berpihak pada pemulihan hidup, penegakan HAM dan demokrasi.

"RUU Perubahan Iklim perlu menjadi perhatian serius negara dalam memastikan keselamatan rakyat dari dan bencana iklim," ujar Zenzi.

RUU Perubahan Iklim perlu didorong untuk memastikan pelibatan penuh rakyat dengan menggunakan pendekatan keadilan antar-generasi, mulai dari proses penyusunan kebijakan, implementasi, monitoring dan evaluasi.

Baca Juga: Jokowi Terbitkan Perppu 'Cilaka', Walhi Kalsel: Perjuangan Berlanjut

"Serta mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup yang diyakini dapat membawa Indonesia keluar dari krisis iklim," paparnya.

Kedua, penegakan hukum sektor lingkungan dan sumber daya alam (SDA). Selama ini, kejahatan lingkungan dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Korporasi menyebabkan krisis dan konflik di masyarakat.

"Hal itu merupakan wujud lemahnya penegakan hukum sektor lingkungan dan SDA," tegas Zenzi.

Ketiga, 'Ekonomi Nusantara' sebagai jalan pemulihan lingkungan, pemulihan hak rakyat, dan memperkecil ketimpangan akses kesejahteraan.

Baca Juga: Komunitas Wuling Tanam 100 Pohon Bakau demi Jaga Kelestarian Alam

Keempat, menciptakan 'Ekosistem Ekonomi Nusantara'. Ekosistem Ekonomi Nusantara diharapkan menjadi kesatuan sistem yang diciptakan sebagai keterhubungan sistem yang mendukung rantai nilai Ekonomi Nusantara yaitu, produksi, distribusi, konsumsi, dan konservasi, yang dilakukan oleh model corak produksi Wilayah Kelola Rakyat.

Kelima, Akademi Ekologi secara filosofis dibangun meneruskan tradisi dan kekayaan pengetahuan lokal yang ada di Nusantara. Untuk itu, Walhi tidak menempatkan Akademi Ekologi sebagai alat komersialisasi pengetahuan.

"Penemuan-penemuan yang nantinya dijadikan bahan pengetahuan yang disebarkan untuk pedoman bagi rakyat," ungkap Zenzi.

Ekonomi Nusantara

Jika Indonesia ingin mengembalikan fungsi lingkungan maka 'Ekonomi Nusantara' merupakan jalan keluarnya.  Ekonomi Nusantara, menurut Zenzi, secara mendasar akan menjawab dua krisis besar saat ini yaitu krisis ketimpangan dalam kesejahteraan dan krisis lingkungan.

Baca Juga: Hindari Pilpres Berbau SARA, Jokowi: Jauhi Politik Agama!

Sementara Sustainability Development Goals (SDGs) yang sedang digalakkan pemerintah saat ini, belum bisa diharapkan untuk menjadi jalan ekonomi Indonesia dan belum bisa menjawab dua krisis utama yang sedang dihadapi Tanah Air.

“Salah satu yang kami bangun ekosistem ekonomi nusantara justru di wilayah yang dari tahun 2020, masyarakatnya sudah memulihkan hutan yang sebelumnya setiap tahun terus kebakaran, sekarang wilayahnya sudah pulih," papar Zenzi.

Ciri khas pulihnya suatu wilayah, menurut Zenzi, terlihat dari sungai yang kembali jernih, debit air meningkat, suhu rata-rata areanya kembali dingin. Pemulihan lingkungan ini, disertai dengan peningkatan pendapatan masyarakat.

“Yang kami tawarkan adalah sesuatu yang nyata, yang jalan di masyarakat tetapi belum mendapatkan sentuhan kebijakan. Sentuhan fasilitas dari negara,” ujar dia.

Waspada Tahun Pemilu

Tahun 2023 merupakan momen penting dikarenakan waktunya para politisi menggalang kekuatan untuk Pemilihan Umum 2024. Karena itu, Pokja Politik WALHI M Islah menyebut tahun ini sebagai tahun yang krusial.

Baca Juga: Bukan Kalsel, IKN Nusantara yang Terkepung Tambang Ilegal!

Krusial karena Indonesia sedang menghadapi krisis iklim. Sebuah kondisi iklim dimana hal itu tak lagi sekadar isu namun menjadi masalah besar yang butuh penyelesaian segera.

“Dunia saat ini membutuhkan pemimpin yang peduli dengan keberlangsungan kehidupan. Apakah Bumi akan menunjang kehidupan kita atau tidak, itu yang perlu diantisipasi,” kata dia.

“Dunia butuh pemimpin yang peduli dengan lingkungan,” imbuh Islah.

Lebih lanjut dia berharap para partai politik sudah mempersiapkan calon yang memiliki visi misi kepada lingkungan. Yang paham bahwa keberlanjutan lingkungan lebih penting daripada mengeruk keuntungan.

Baca Juga: Gawat! ESDM Temukan 2.741 Lokasi Tambang Ilegal Sepanjang 2022

Sementara masyarakat harus memperkuat soliditas. Jangan sampai terpecah belah. "Kuncinya tetap ada di rakyat, pilih parpol yang berbobot. Jalankan Pemilu dengan baik, jujur, dan adil," pintanya.

Senada dengan itu, Antropolog Suraya A. Afiff melihat dalam konteks Pemilu, oligarki lokal ternyata masih memberikan pengaruh, utamanya politik dinasti.

"Lingkungan tidak jadi prioritas, itu menjadi kendala. Sementara Oligarki menunggu yang menguntungkan mereka," katanya.

Baca Juga: Perppu Cipta Kerja Berdampak Positif bagi Perusahaan Tambang

Karena itu, dia berharap agar rakyat tidak hanya sekadar memilih dalam pemilu. Rakyat perlu bersikap dan berdaya, karena yang terpenting adalah terbangunnya gerakan lingkungan yang efektif.

“Pemerintah tidak akan berubah kecuali dari rakyat. Oleh karena itu, semua harus memahami bahwa aktivisme tak hanya Non Government Organization (NGO), tetapi semua elemen masyarakat dapat menjadi aktivis," ungkap Afiff.

Siapapun bisa. Sebuah perubahan, kata dia, tidak bisa semata pada pemerintah, namun rakyat memiliki pengaruh nyata.

Editor


Komentar
Banner
Banner