Hilirisasi Mineral

Aliansi Sulawesi Tantang Luhut, Bahlil dan Gibran soal Hilirisasi Nikel

Aliansi Sulawesi atau koalisi WALHI Sulsel, Sultra dan Sulteng menantang Luhut, Bahlil dan Gibran untuk dialog terbuka terkait hilirisasi nikel.

Featured-Image
Dokumentasi. Tumpukan nikel diatas kapal tongkang di kawasan industri smelter nikel di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (27/2/2023). Foto: ANTARA

bakabar.com, JAKARTA - Aliansi Sulawesi atau koalisi WALHI Sulsel, Sultra dan Sulteng menantang Luhut, Bahlil dan Gibran untuk dialog terbuka terkait hilirisasi nikel, khususnya di Pulau Sulawesi. 

Mereka meminta untuk menunjukan fakta dan data terkait manfaat maupun dampak negatif dari hilirisasi nikel yang telah berlangsung selama ini.

Pasca-debat Cawapres, Minggu (21/1), topik tentang hilirisasi mineral khususnya  nikel masih menjadi perbincangan hangat. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan ikut mengomentari dan menampik bahwa hilirisasi yang dijalankan oleh Presiden Jokowi sudah benar.

Direktur WALHI Sulawesi Tengah Sunardi dalam keterangannya menyebut program hilirisasi nikel di Indonesia tidak berjalan baik. Pasalnya, dalam 3 tahun terakhir, hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah berdampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Secara nyata hal itu bisa ditemukan, baik di area pertambangan maupun di sekitar pabrik.

Baca Juga: Sektor Hilirisasi Selama 2023 Meraup Investasi Senilai Rp375,4 T

"Karena itu, kami mengajak menteri Luhut, Bahlil, bahkan Cawapres 02, Gibran untuk berdebat secara terbuka soal manfaat industri nikel di Sulawesi. Tunjukan data-data terkait dampak positif hilirisasi nikel, khususnya bagi masyarakat dan lingkungan Sulawesi", ujar Sunardi, Senin (29/1).

Sunardi mengungkapkan, kondisi itu harus dilihat dan dihitung sebagai dampak hilirisasi mineral nikel di Indonesia.

"Kami perlu jabarkan satu-satu dampak negatif hilirasi nikel di Sulawesi Tengah kepada Gibran khususnya. Mulai dari masalah pencemaran air, udara, kehancuran hutan, hingga gangguan kesehatan masyarakat dan penurunan pendapatan masyarakat lokal, seperti petani dan nelayan", jelasnya.

Selain itu, kondisi pekerja tambang dan industri nikel juga sangat memprihatinkan. Ribuan tenaga kerja lokal harus bekerja dengan standar keselamatan kerja yang rendah. Dari sisi upah juga tidak sesuai dengan risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi dan sistem kerja kontrak yang membuat para pekerja harus bekerja non-stop agar mendapatkan penghasilan yang tinggi.

Baca Juga: [VIDEO] Hilirisasi Nikel, JATAM: Itu Solusi Palsu

"Banyak buruh-buruh smelter nikel di Morowali harus berhenti kerja karena tidak tahan dengan risiko yang tinggi, sementara upah mereka sangat rendah. Hal itu yang perlu kami perdebatkan dengan Luhut dan Gibran," terang Sunardi.

Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan. Direktur WALHI Sulawesi Selatan Al Amin menjelaskan dampak massif hilirisasi nikel adalah pencemaran lingkungan dan ancaman penggusuran kebun-kebun petani.

Saat ini, hasil pemantauan WALHI Sulsel, sungai-sungai di sekitar pabrik dan tambang nikel di Sulsel tercemar logam berat. Ini berbahaya karena air sungai yang tercemar itu bermuara ke danau dan laut.

Baca Juga: Smelter Morowali Kebakaran Lagi, DPR Sentil Jokowi: Alarm Hilirisasi!

Hutan hujan di Sulsel juga terancam hilang akibat pertambangan nikel. Bahkan kebun-kebun petani dan perempuan di Sulawesi Selatan terancam tergusur akibat ekspansi tambang nikel yang massif dalam satu tahun terkahir.

"Oleh karena itu, kami ingin sekali mengajak Cawapres 02, Gibran untuk berdebat secara terbuka mengenai bahaya hilirisasi nikel. Agar dirinya tidak asal mengatakan bahwa hilirisasi itu sangat menguntungkan, bahkan menghina orang-orang yang menentang proyek hiliriasi nikel", papar Al Amin.

Di Sulawesi Tenggara, kondisinya tak jauh berbeda. Dampak negatif hilirasi nikel berujung pada kriminalisasi warga, kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan.

Baca Juga: [VIDEO] Tim Fanta Digital: Hilirisasi Digital Tingkatkan Ekonomi

Direktur WALHI Sulawesi Tenggara Andi Rahman membeberkan, hilirisasi nikel  mengakibatkan deforestasi, pencemaran udara dan air. Penggunaan PLTU Captive pada smelter nikel di Sultra menyebabkan penderita penyakit ISPA meningkat. Selain itu, pencemaran laut akibat sedimentasi juga meluas, berdampak pada penurunan hasil tangkapan nelayan.

"Tidak kalah penting saat ini, terdapat tiga puluhan perempuan di Kabupaten Konawe Selatan terancam dikriminalisasi oleh perusahaan dan kepolisian karena menolak pertambangan nikel," paparnya.

Andi menambahkan, "Semua itu adalah bukti bahwa hilirisasi adalah proyek yang sangat mengerikan bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat."

Editor
Komentar
Banner
Banner