bakabar.com, JAKARTA - Huadi Group memiliki enam perusahaan smelter nikel di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Sulawesi Selatan. Empat dari smelter nikel itu telah beroperasi, yakni PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, PT Huadi Wuzhou Nickel
Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry II.
Sementara smelter nikel yang dalam tahap konstruksi, yaitu PT Hanseng New
Material dan PT Unity. Pemerintah Kabupaten Bantaeng menilai smelter nikel
tersebut dapat menjadi sumber pendapatan dan penyerap tenaga kerja yang besar.
Namun, laporan yang diluncurkan Lembaga Bantuan Hukum Makassar dan Trend
Asia bertajuk Bertaruh Pada Smelter menemukan, kehadiran smelter nikel yang digadang-gadang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru mematikan ekonomi warga yang berpusat pada produksi rumput laut dan pembuatan batu bata merah.
Pasalnya, limbah industri yang mencemari air sungai berdampak pada produksi rumput laut. Selain itu, muncul kekeringan yang diduga akibat penggunaan air tanah oleh perusahaan yang memiliki sumur bor. Hal ini terjadi khususnya di
Desa Papan Loe dan Desa Borong Loe.
Baca Juga: LBH Makassar Soroti Kerusakan Lingkungan Dampak dari Smelter PT HNI
Mayoritas warga yang berprofesi sebagai pengrajin batu bata merah membutuhkan
air bersih dalam produksi bata merah. Karenanya, warga harus menadah air di
tengah malam karena air bersih mulai mengalir ketika malam.
Kekeringan juga membuat warga harus membeli air kemasan atau membuat sumur bor dengan kedalaman 50 meter untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Penghasilan warga tak menentu, sementara pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan air bersih terus bertambah.
"Smelter berada di Kecamatan Pajukukang yang dianggap sebagai wilayah kering
dan panas. Ketika daerah lain hujan, belum tentu di Pajukukang hujan juga terjadi. Atas dasar itu, pemerintah menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan industri
karena disebut tidak memungkinkan untuk aktivitas pertanian," terang Ady Anugrah Pratama dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar dalam keterangannya Jumat (21/7).
Menurut Ady, Pemerintah tidak menghitung, di tengah kekeringan yang dimaksud pemerintah, warga sekitar justru menemukan sumber ekonominya sendiri, berupa kerajinan batu bata, beternak dan bertani rumput laut.
Baca Juga: Ada Lagi yang Mati, Bukti Buruknya Pengelolaan K3 di Smelter Bantaeng
"Ketika smelter datang, terjadi kekeringan. Masyarakat kesulitan mendapatkan air, baik untuk kebutuhan sehari-hari sampai ke pengrajin batu bata merah atau batu eja yang butuh air untuk produksinya. Ini dampak yg dikeluhkan masyarakat, terutama di Dusun Mawang," imbuh Ady.
Kuat dugaan Huadi Group menggunakan air tanah dengan membuat sumur-sumur
bor untuk memenuhi kebutuhan smelternya. Padahal, jika merujuk pada dokumen
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), PT Huadi Nickel Alloy Indonesia akan
menggunakan hasil penyulingan air laut untuk kebutuhan produksinya.
Padahal Kementerian Perindustrian telah mengeluarkan surat edaran nomor
B/284/KPAII.3/IV/2022 tanggal 14 April 2022 melarang pemakaian air bawah tanah bagi perusahaan industri dalam kawasan industri.
Selain itu, limbah cair dari perusahaan smelter nikel pertama KIBA, PT Huadi Nickel
Alloy Indonesia (PT HNI) yang langsung dibuang ke laut mengakibatkan air berwarna coklat dengan bau yang menyengat. Limbah tersebut mengalir ke sungai
di bawah jembatan Dusun Kayu Loe, Desa Papan Loe, Kecamatan Pajukukang.
Baca Juga: Perusahaan Tambang Telat Bangun Smelter, ESDM: Siap-Siap Bayar Denda
Akibatnya, petani rumput laut yang berada di dekat jetty atau dermaga mengeluhkan produksi rumput lautnya yang rusak dan gagal panen. Perusahaan telah berjanji akan memberikan ganti rugi, tetapi janji tersebut belum ditepati.
Selain itu, dua sungai di Mawang dan Balla Tinggia ditutup dan ditimbun oleh PT HNI. Warga yang bermukim di Dusun Mawang, Kayu Loe, dan Balla Tinggia mengalami gangguan kesehatan, seperti batuk dan iritasi mata akibat asap dan partikel debu dari smelter nikel.
Itu terjadi karena tiga dusun tersebut berada di sisi kanan, kiri, dan belakang smelter. Perusahaan berjanji akan memberikan uang kompensasi akibat polusi debu, tetapi janji tersebut belum pernah ditepati.
Di Dusun Mawang juga ada bau menyengat dari smelter nikel yang bisa tercium hingga ke Desa Layoa, Kecamatan Gantarangkeke. Puncak bau menyengat terjadi di malam hari. Radius bau akan semakin bertambah seiring kencangnya angin.
Baca Juga: Pembangunan Smelter Berkaitan dengan Kedaulatan, Ini Kata Pengamat
PT HNI pernah mendapatkan sanksi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
atas pelanggaran dan ketidaktaatan pengendalian pencemaran air, pencemaran
udara, pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah berbahaya
dan beracun, pengelolaan limbah non-B3, dan persetujuan lingkungan.
Namun, belum ada perubahan dari perusahaan karena warga masih mengeluhkan
pencemaran lingkungan akibat aktivitas smelter. Selain itu, pasca disahkannya Omnibus Cipta Kerja dan Revisi Undang-undang Mineral dan Batu bara, kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam penerbitan izin usaha pertambangan, membuat warga kesulitan untuk melaporkan perusahaan yang merangsek ruang hidup mereka karena kewenangan keputusan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat.
Perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin menilai, dari beragam masalah yang telah terjadi akibat Industri Nikel, kerugian tentu akan dirasakan oleh warga sekitar terlebih dalam proses menuntut keadilan.
"Kalau proses pergerakan dalam kebijakan sektor tambang, revisi UU Pemda Tahun
2014 sudah menggeser kewenangan sektor pertambangan dan sumber daya alam
di pesisir," jelasnya.
Baca Juga: Smelter Freeport, Menteri Bahlil Wajibkan Dibangun di Papua
Kewenangan tidak lagi di Kabupaten dan Kota, tapi Pemerintah Provinsi. Kata Zainal, itu semacam praktik uji coba, bagaimana regulasi digeser pelan-pelan dan sentral kebijakan ada di Omnibus Cipta Kerja dan UU Minerba yang mengatur kewenangan ke pemerintah pusat.
"Secara geografis ini menyulitkan masyarakat melakukan mekanisme komplain," terangnya. Ketika dulu masyarakat yang menolak bisa langsung ke pemerintah Kabupaten atau Kota, sekarang sudah tidak lagi.
Selain itu, dulu pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam hal pencabutan izin. "Hari ini hal itu sangat susah jika ingin komplain dan menggerakkan massa karena sekarang semua harus ke Jakarta," terang Zainal.
Adapun Huadi Group telah menjanjikan bahwa warga bisa bekerja di smelter nikel. Namun faktanya, proses seleksinya sarat nepotisme. Hal lain, karyawan smelter dihadapkan pada potensi kecelakaan kerja yang tinggi. Pasalnya, perusahaan tidak memberikan alat pelindung diri yang memadai.
Baca Juga: Bangun Smelter Tembaga, Bahlil: PTFI Realisasikan Rp33 Triliun
Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry menegaskah hal itu. Menurutnya, telah terjadi sedikitnya 13 kecelakaan kerja di KIBA. 5 korban meninggal dunia dan sebagian mengalami disabilitas.
Ketika kecelakaan kerja terjadi, perusahaan bernegosiasi dengan pihak keluarga dan memberikan tawaran mempekerjakan anggota keluarga lain untuk menutup kasus tersebut. Dengan begitu, kata Ashov, tidak ada sama sekali proses evaluasi dan perbaikan kondisi kerja, sehingga kecelakaan kerja terus terjadi.
"Bicara kecelakaan kerja 13 korban itu bukan angka yang rendah. Dalam riset Trend Asia tentang kecelakaan kerja di wilayah industri nikel di Sulawesi dan Maluku, ada 47 korban meninggal dunia dan 10 dugaan bunuh diri," paparnya.
Ashov menambahkan, ada juga kaitannya dengan dampak lingkungan, seperti yang terjadi di Bantaeng. Menurutnya, itu semua adalah hasil dari regulasi dan oligarki yang membuat Indonesia mundur 40 tahun. Dengan asumsi Indonesia membutuhkan dana pasca-COVID19, maka harus menurunkan dan melonggarkan standar.
"Padahal kedua hal itu tidak ada hubungannya. Kita memang harus memasang standar tinggi yang menghormati manusia dan alam," tegas Ashov.