apahabar, JAKARTA - Sempat dinyatakan inkonstitusional, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 terkait UU Cipta Kerja.
Pengumuman yang terkesan tiba-tiba itu dinilai banyak pihak merupakan bentuk dari otoritarianisme era Jokowi. Dalam Putusan tersebut, MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.
Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Selain itu, MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun, alih-alih melakukan revisi dan mengikuti arahan MK, pemerintah justru mengeluarkan perppu yang mengejutkan banyak pihak. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras tindakan pemerintah.
Pasalnya penerbitan beleid itu dinilai sebagai bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menjelaskan bahwa kondisi ini semakin menunjukkan presiden tidak berpihak pada rakyat. "Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna meaningful participation sebagaimana diperintahkan MK," tegasnya.
Presiden, kata dia, justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. "Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis," imbuh Isnur.
Penerbitan perppu menurut YLBHI tidak memenuhi syarat. Diterbitkannya perppu harusnya ada hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa. Tentu ini sangat bertolak belakang dengan kenyataannya.
Presiden harusnya mengeluarkan perppu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan karena penolakan yang masif dari seluruh elemen masyarakat.
"Saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan perppu," ungkapnya.
MK jelas memerintahkan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan perppu. Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia diklaim sebagai alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan perppu ini.
Kekosongan hukum, menurutnya juga alasan yang tidak berdasar. Yang justru menunjukkan inkonsistensi di mana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya melarang pemerintah membentuk peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam perjalanannya pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut.
"Penerbitan perppu UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal," jelasnya.
"Ini jelas tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan perppu ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan," pungkas Isnur.
Penerbitan PERPU ini semakin melengkapi keganjilan kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain.
Penerbitan di ujung tahun, juga dicurigai YLBHI bahwa presiden tidak menghendaki adanya reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.
YLBHI, kata dia, menuntut presiden melaksanakan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK.
"Menarik kembali perppu Nomor 2 Tahun 2022. Menyudahi 'kudeta' dan pembangkangan terhadap konstitusi. Mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip konstitusi, negara hukum yang demokratis, dan HAM," jelasnya.