Bisnis

Tambang Adani di Bunyu Sebabkan Trauma Kolektif dan Berkurangnya Batas Negara

JATAM menilai aktivitas tambang Adani di pulau Bunyu menyebabkan trauma kolektif terhadap seluruh kehidupan di pulau tersebut.

Featured-Image
Tambang batubara milik Adani Group di Pulau Bunyu, Kalimantan Utara. Foto: Google Earth

bakabar.com, JAKARTA - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai aktivitas pertambangan Adani Group di Bunyu telah menyebabkan trauma kolektif terhadap seluruh kehidupan di pulau tersebut.

Penambangan batu bara Adani dilakukan melalui PT Lamindo Inter Multikon. Pulau Bunyu dengan luasnya 198,32 km² berada di wilayah administratif Kalimantan Utara.

Data Modi dan Geoportal Minerba menyebut Lamindo memiliki IUP aktif hingga 2037 di atas lahan seluas 2.414 hektar atau mencapai 12% dari total luas pulau Bunyu.

Tidak hanya menyebabkan trauma kolektif terhadap seluruh kehidupan di pulau tersebut, aktivitas tambang juga berdampak terhadap batas luas negara.

Baca Juga: Gurita Adani, Praktik Short Selling dan Aksi Serangan Balik

Kepala Divisi Hukum Nasional Jatam Muhammad Jamil kepada bakabar.com menyebut aktivitas tambang di pulau kecil itu sangat merugikan.

"Selain trauma kolektif, kerusakan lingkungan yang meluas mengalir ke laut tanpa batas," ujarnya di Jakarta, Rabu (22/2).

Hal itu, menurut Jamil turut mempengaruhi titik batas luas negara. "Titik batas akan bergeser karena yang dihitung adalah letak atau lokasi daratan terluar," terangnya. 

Akibatnya, batas negara ikut berubah oleh aktivitas pertambangan, utamanya PT Lamindo Multikon yang merupakan perpanjangan tangan Adani Group.

Baca Juga: Mengintip Jejak Adani di Bunyu, Pulau Kecil di Kaltara

Jamil menerangkan, sejatinya pulau-pulau kecil terlarang untuk ditambang. Pulau kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya, membuat luas daratannya semakin berkurang. Selain itu, cadangan air tawar juga terbatas, dengan kepastian batas wilayah, serta terisolasi dari habitat lain.

"Ukurannya luasan kesatuan ekologi pulaunya setara atau lebih kecil 2.000 km2 (Dua Puluh Kilometer Persegi)" terang Jamil.

Hal itu tertuang di Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K).

"Apalagi Pulau Bunyu termasuk kategori pulau sangat kecil. Luasnya hanya 198,32 km² dan berhadapan langsung dengan perbatasan Malaysia dan Filipina di Bagian Timur dan Utara," imbuhnya.

Baca Juga: Unit Bisnis Adani Ada di Indonesia, BEI Pantau 'Saham Gorengan'

Pulau dengan penduduk 153 ribu jiwa itu terletak di titik poros utama jalur internasional. "Bahkan warga Bunyu lebih dari enam dekade hidup berhimpitan dengan pertambangan, baik migas maupun batu bara," ucap Jamil.

Saat ini, berdasarkan data JATAM, sedikitnya ada 6 perusahaan tambang batu bara dengan izin aktif yang masih beroperasi. Sebut saja, PT. Garda Tujuh Buana, PT. Lamindo, PT Lima Lima Sepakat, PT. Pipit Citra Perdana, PT Mitra Niaga Mulia, dan PT Saka Putra Perkasa.

Dari enam perusahaan tersebut, menurut Jamil, terdapat tiga perusahaan tambang batu bara berstatus operasi produksi. Perusahaan itu meliput PT Garda Tujuh Buana (710 hektar), PT Lamindo Multikon (2.413,73 hektar) dan PT Saka Putra Perkasa (728,59 hektar).

"Jika pada akhirnya Pulau Bunyu terus ditambang maka pulai itu akan habis tenggelam," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner