Tarif Layak Pekerja

Tak Ada Standar Tarif Layak, Pekerja Gig Terancam Gaji Rendah

Pekerja gig atau pekerja lepas mengalami kerentanan gaji rendah. Sebab, hingga saat ini belum ada alat khusus yang dapat menghitung tarif layak yang seharusnya

Featured-Image
Ilustrasi pekerja di DKI Jakarta. Foto: Reuters

bakabar.com, JAKARTA - Pekerja gig atau pekerja lepas mengalami kerentanan gaji rendah. Sebab, hingga saat ini belum ada alat khusus yang dapat menghitung tarif layak yang seharusnya diterima pekerja lepas.

Padahal, pekerja gig dan perusahaan platform berada pada posisi yang setara dengan mempertemukan pekerja gig dan pengguna jasa. Di sisi lain, pekerja gig selama ini memiliki risiko dari pekerjaannya.

Gig Project Officer WageIndicator, Nadia Pralitasari menerangkan hadirnya alat Cek Tarif Layak ini dilatarbelakangi oleh tantangan pekerja gig dalam menentukan tarif jasa atau pekerjaanya.

Baca Juga: Faskes Ala Kadarnya, Pekerja Smelter di Morowali Terancam Debu Tambang

Dengan adanya Cek Tarif Layak, semua biaya yang selama ini sering tidak disadari dapat dihitung. Misalnya mengenai alat kerja, waktu overhead, pajak, jaminan sosial, hingga jaminan pensiun.

"Apabila pekerja gig sudah tahu tarif yang ideal lewat Cek Tarif Layak, maka pekerja gig dapat bernegosiasi dengan pemberi kerjanya atau perusahaan platform baik secara individu maupun kolektif. Secara kolektif, salah satu caranya dengan serika pekerja," katanya melalui keterangan resmi, Jumat (26/1).

Baca Juga: Bos PT IMIP Bantah Tudingan Tak Berikan Hak Pekerja di Smelter

Seorang pembuat konten digital sekaligus penulis buku, Veronica Latifiane menilai pemberi kerja sering menetapkan tarif secara sepihak, tanpa mempertimbangkan waktu tunggu.

Sebagai pekerja lepas, kata Veronica, alat Cek Tarif Layak tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam bernegosiasi tarif dengan klien.

"Saya coba alat Cek Tarif Layak ini pertama kali, banyak sekali turunan komponennya dengan pertimbangan risiko yang berbeda. Risiko antara sutradara dan lighting men misalnya itu berbeda jauh," pungkasnya.

Baca Juga: Sisi Gelap Transparansi Upah Pekerja Smelter di Morowali

Baca Juga: EKBIS SEPEKAN: Serba-serbi Ledakan Smelter, dari Kesejahteraan Pekerja hingga Bos IMIP Bungkam

Sebelumnya, laporan Fairwork (2023) menemukan 10 perusahaan platform tidak memenuhi upah minimum bagi mitranya. Bahkan, dengan upah melebihi tinggi, pekerja seringkali bekerja dalam waktu yang panjang.

Hal tersebut serupa dengan hasil survei yang mengenai situasi keuangan pekerja gig yang dilakukan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).

Hasil survei tersebut menemukan sebanyak 54,2 persen responden berpenghasilan di bawah Rp 6 juta. Adapun sebanyak 68,9 persen mengalami kesulitan keuangan. Disusul 74,7 persen penghasilan pekerja gig hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Editor


Komentar
Banner
Banner