bakabar.com, JAKARTA - Pemerintah masih dianggap lemah dalam melindungi kaum pekerja di sektor industri sepatu, terutama bagi perempuan.
Setidaknya itulah yang digaungkan dalam Diskusi Publik Pembukaan Photobook Showcase K3 Pekerja Perempuan Responsif Gender, yang dilakukan di Gedung Perpustakaan Nasional, Kamis (14/12).
Sebuah kolaborasi yang dilakukan oleh Trade Union Rights Centre dan Kelas Pagi dalam Mewujudkan Program Multi Actor Partnership (MAP) terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja perempuan di industri sepatu dan alas kaki.
Dalam diskusi ini turut hadir para pekerja kaum perempuan dari industri pabrik, yang dianggap masih kurang mendapatkan keselamatan dalam kerja.
Harus diakui bahwa saat ini perempuan tidak hanya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), banyak di antara mereka membantu sang suami dan memilih bekerja untuk mencari nafkah.
Bahkan dalam industrii padat karya memiliki populasi sebanyak 90 persen yang didominasi oleh para pekerja perempuan, yang mayoritas mereka kerap terintimidasi.
"Pemerintah masih kerap mengabaikan fokus terhadap keselamatan kerja terhadap perempuan di banyak industri, hak perlindungan kesehatan itu tidak diterapkan dan diberikan secara tuntas pada mereka," ucap dr. Wendri Wildiartoni P. Pelupessy, Deputi Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan.
International Labour Organization (ILO) telah memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dalam Konverensi K-183, yang menyebutkan hak-hak para pekerja, dan meningkatkan perlindungan sosial bagi mereka.
Sayangnya, secara fakta hak-hak yang seharusnya diberikan justru hanya menjadi angin bagi banyak pekerja. Banyak di antara mereka mengaku kerap bekerja melebihi batas waktu normal.
"Kesehatan dan keselamatan di tempat kerja tidak bisa ditolerir, terlebih kesehatan reproduksi pada karyawan perempuan dan laki-laki," lanjut dr. Wendri.
Meski begitu, Pengelola Kesehatan Kerja dan Olahraga Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Asmida Mariani, mengungkapkan bahwa telah mengupayakan dalam menjangkau pekerja formal dalam Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP).
"Sudah dari tahun 2017, meski belum menjangkau banyak pihak, kami terus mengupayakan hal tersebut dalam puskesmas terdekat untuk menjangkau mereka," tuturnya.
Meski begitu, Indonesia bukan hanya pada Jakarta, masih banyak pekerja di berbagai wilayah mendapatkan diskriminasi tersebut.
Sehingga hal tersebut menjadi sebuah komitmen yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Bahwa perlindungan kesehatan perempuan dalam sektor informal masih belum terwujud dengan baik.
"Masih banyak pr yang harus dilakukan guna mendapatkan peraturan kesehatan dan keselamatan kerja, terutama reproduksi terhadap perempuan, sehingga menghasilkan keluarga dan individu yang baik dan sehat," tutup dr. Wendri.