bakabar.com, JAKARTA - Eks Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin menilai pemalsuan dokumen yang diduga dilakukan hakim konstitusi merupakan nestapa bagi penegakan hukum di Indonesia. Sebab, penjaga terakhir hukum dan aturan fundamental diterpa dugaan pelanggaran hukum.
"Seandainya tuduhan seorang pengacara bahwa Mahkamah Konstitusi mengubah keputusannya sendiri, terbukti maka itu merupakan tragedi bahkan nestapa penegakan hukum di negeri yang berdasarkan hukum, Indonesia," kata Din kepada bakabar.com, Jumat (3/2).
Baca Juga: Sembilan Hakim MK Dilaporkan ke Polda Metro, Diduga Palsukan Dokumen
"Benteng teratas dan terakhir penegakan hukum melanggar hukum itu sendiri," sambung dia.
Pria yang mengaku pemrakarsa jihad konstitusi ini beranggapan bahwa dirinya memang telah sejak lama skeptis dengan Mahkamah Konstitusi. Ia berkali-kali menuai kecewa dengan MK, sehingga kasus dugaan pemalsuan dokumen putusan MK menjadi salah satu bagian dari potret kemelut di tubuh MK.
"Saya sendiri sudah lama kehilangan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Keputusan MK tentang gugatan terhadap hasil Pemilihan Presiden 2019 mengusik rasa keadilan karena bukti-bukti pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif tidak didalami apalagi dalam konteks sifat Pemilu/Pilpres jujur dan adil. Meninggalnya 700-an Petugas TPS tidak disentuh dan dijadikan pertimbangan," jelasnya.
Baca Juga: Dituding Palsukan Dokumen, Seluruh Hakim MK Terancam 6 Tahun Penjara
Bahkan, saat PP Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Din mengajukan uji materi atau judicial tiga UU yang dinilai bakal berpotensi merugikan negara. Yaitu UU No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No. 30/2009 tentang Tenagakelistrikan, dan 3. UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing.
"Yang dinilai merugikan negara dimanipulasi oleh MK. Dikatakan dimanipulasi karena pendaftaran judicial review ketiga Undang-Undang tersebut pada Tahun 2014 dinyatakan kemudian oleh pihak MK tidak ada, tidak terdaftar sehingga tidak dibahas," ungkap dia.
Menurutnya, saat itu Din mencurigai peran MK dalam menangani uji materi yang diajukan PP Muhammadiyah. Sebab langkah MK justru kontraproduktif dengan kenyataan.
Baca Juga: Bedah Buku Hakim MK, Manahan Bahas Perlindungan Hak Buruh di Indonesia
"Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Tim Advokat PP Muhammadiyah waktu itu nyata-nyata dan terbukti di depan mata saya sendiri melakukan pendaftaran di loket MK. Ketua MK waktu itu Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MH bahkan menyilakan kami pada hari pendaftaran melakukan konferensi pers di sebuah ruangan MK," imbuh dia.
"Tapi beberapa waktu, sekitar setahun kemudian, beliau (Arief Hidayat) menyampaikan kepada saya bahwa pendaftaran gugatan tidak ada. Kami sudah menyimpan kecurigaan bahwa gugatan PP Muhammadiyah tersebut tidak akan dibahas karena saat PP Muhammadiyah beberapa waktu kemudian beraudiensi kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara," lanjutnya.
Untuk itu, ia menuding bahwa MK tak independen dan berpihak pada penguasa. "Pemerintah melakukan intervensi terhadap penegakan hukum dan terbukti kemudian bahwa MK tidak cukup mandiri dengan tidak memproses gugatan PP Muhammadiyah bahkan berbohong dengan mengatakan bahwa tidak ada pendaftaran gugatan tersebut," sebutnya.
"Dugaan bahwa MK gagal menjadi penegak hukum tertinggi dan terakhir. Jika ini berlanjut terutama dalam penetapan hal strategis semisal tentang Pemilu dan Pilpres maka akan menimbulkan kerusakan legal-struktural yang potensial membawa malapetaka dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia," pungkasnya.
Diketahui, sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena diduga melakukan pemalsuan dokumen putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum diterbitkan melalui website MK.
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, pelapor sembilan Hakim MK melayangkan laporan ke Polda Metro karena menduga Hakim secara personal sengaja mengubah substansi dalam putusan MK nomor 103/PUU-XX/2022.
"Jadi pada hari ini kita baru saja membuat laporan polisi, pada laporan kali ini kita membuat laporan 9 hakim konstitusi dan juga 1 panitera, dan 1 panitera pengganti atas adanya dugaan tindak pidana pemalsuan dan menggunakan surat palsu sebagaimana salinan putusan dan juga risalah sidang dan juga dibacakan dalam persidangan terkait dengan substansi putusan itu terdapat frasa atau substansi yang sengaja diubah karena bunyinya itu awalnya dengan 'demikian' kemudian 'ke depan'," kata penasihat hukum Zico, Leon Maulana Mirza di Polda Metro Jaya, Rabu (1/2) kemarin.
Untuk itu, ia mempersoalkan substansi yang diubah dalam putusan yang diduga dilakukan Hakim MK dan panitera.
"Ini kan ada suatu hal yang baru apabila ini dinyatakan dalam suatu hal yang typo sangat tidak substansial karena ini substansi frasanya sudah berbeda kurang lebih seperti itu," ujar Leon.