bakabar.com, JAKARTA - Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) kembali merilis cakupan luasan registrasi wilayah adat dan status pengakuannya oleh pemerintah bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara tanggal 17 Maret 2023.
Dalam enam bulan terakhir, menurut catatan BRW terdapat 124 peta wilayah adat teregistrasi di BRWA dengan luas mencapai 4,4 juta hektar.
Kadiv Data Informasi BRWA Ariya Dwi Cahya menerangkan jika sampai saat ini BRWA telah meregistrasi 1.243 peta wilayah adat seluas 25,1 Juta hektar yang tersebar di 32 provinsi dan 154 kabupaten/kota di Indonesia.
Dari data tersebut terdapat 3.206.703 hektar atau 184 wilayah adat sudah mendapatkan status penetapan pengakuan wilayah adat dari pemerintah daerah.
Baca Juga: Taman Bakau Biak, Peningkatan Ekonomi Warga dan Pelibatan Masyarakat Adat
"Artinya, baru 12,7% wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya," katanya.
Menurut Ariya, Pemda masih punya pekerjaan besar untuk melaksanakan peraturan daerah (Perda) yang mereka terbitkan, karena ada sekitar 18.828.794 hektar atau 792 peta berada pada daerah yang telah menerbitkan Perda tentang pengakuan masyarakat adat.
"Sementara itu, ada 3.127.750 hektar atau 253 peta berada pada daerah yang belum menerbitkan kebijakan daerah untuk pengakuan masyarakat adat," papar Ariya.
Pengakuan hutan adat
Dalam pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat, dari pers rilis KLHK selama tahun 2022 ada penetapan hutan adat sebanyak 19 SK Hutan Adat dengan luas mencapai 77.185 hektar.
Baca Juga: Perempuan Adat Dinilai Berperan Besar Melestarikan Nilai-nilai Budaya Indonesia
Jadi, pengakuan hutan adat yang dimulai sejak tahun 2016 sampai Maret 2023 ini terdapat 108 SK Hutan Adat dengan luas mencapai 153.322 hektar, atau rata-rata sekitar 21.903 hektar/tahun.
Upaya percepatan penetapan hutan adat terus dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil seperti BRWA dan juga pemerintah daerah.
Kepala BRWA Kasmita Widodo menegaskan BRWA telah terlibat aktif dalam kolaborasi tersebut untuk percepatan pengakuan masyarakat adat, wilayah adat dan juga hutan adat.
Pemerintah pusat dan Pemda masih perlu meningkatan anggaran dalam mendongkrak luas pengakuan wilayah adat dan hutan adat. "Karena potensi hutan adat saat ini mencapai 17,5 juta hektar berdasarkan data registrasi wilayah adat BRWA," ungkapnya.
Baca Juga: Wujudkan Kesejahteraan Rakyat, Menteri ATR/BPN: Reforma Agraria Penting
Tidak ada kemajuan
BRWA menilai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) belum menunjukkan langkah konkret melakukan pendaftaran atau penatausahaan tanah ulayat.
Padahal ada sekitar 3,2 juta hektar wilayah adat yang sudah mendapat penetapan pengakuan oleh pemerintah daerah. "Semestinya ATR/BPN bisa melanjutkan dengan proses pengukuran, pemetaan dan pencatatan dalam daftar tanah," ucap Kasmita.
Dengan begitu, ATR/BPN tidak hanya menggelontorkan anggaran untuk proyek PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) terhadap bidang-bidang tanah, namun juga terlibat untuk pendaftaran tanah ulayat.
Pemerintah juga sampai saat ini, menurut Kasmta, belum mengintegrasikan peta-peta wilayah adat yang sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dalam Kebijakan Satu Peta dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Baca Juga: Yuk! Kemenag Tanah Bumbu Buka Sertifikasi Halal Gratis bagi UMKM
Dengan demikian, ruang hidup masyarakat adat tidak terlindungi dari dampak buruk investasi dan proyek-proyek nasional seperti pembangunan IKN Nusantara.
"Pemerintah masih sangat lemah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumberdaya alam yang berada di wilayah adat," pungkas Kasmita.