Borneo Hits

Usulan Taman Nasional di Kalsel menjadi Ancaman Masyarakat Adat

Wacana usulan Pegunungan Meratus menjadi taman nasional disebut-sebut menjadi ancaman bagi masyarakat adat Dayak Meratus.

Featured-Image
Dialog publik membahas soal usulan taman nasional di Pegunungan Meratus. Foto: Walhi Kalsel

bakabar.com, BANJARBARU - Wacana Pegunungan Meratus menjadi taman nasional disebut-sebut menjadi ancaman bagi masyarakat adat Dayak Meratus.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan terus menolak penguslan taman nasional tersebut.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq, menjelaskan skema taman nasional bukan jawaban atas krisis ekologis di Meratus, bahkan berpotensi melahirkan konflik baru.

Usulan taman nasional Meratus disebut lahir tanpa fondasi keadilan sosial dan pengakuan hak masyarakat adat. Terlebih Pegunungan Meratus bukan ruang kosong.

"Dalam wilayah yang diusulkan sebagai taman nasional, sebagian besar masih dikelola masyarakat adat yang telah menjaga hutan jauh sebelum negara hadir," ketusnya.

Walhi Kalsel mencatat bahwa sekitar 52,84 persen wilayah usulan Taman Nasional Meratus masih merupakan wilayah kelola masyarakat adat, dan lebih dari separuh wilayah adat yang telah dipetakan berpotensi masuk dalam zona taman nasional.

Kondisi ini berisiko memicu kriminalisasi, pembatasan aktivitas adat, serta perampasan ruang hidup atas nama konservasi.

Dari sisi kebijakan, Walhi Kalsel menilai bahwa taman nasional bukan satu-satunya, apalagi solusi terbaik, untuk melindungi Pegunungan Meratus.

Dari pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa kawasan konservasi kerap menjadi pintu masuk investasi pariwisata, perubahan zonasi, hingga penguasaan korporasi, sementara masyarakat adat justru disingkirkan dari wilayahnya sendiri.

Perwakilan masyarakat adat Dayak Meratus, Anang Suriani, juga menyatakan penolakan tegas terhadap rencana tersebut.

Menurutnya, penetapan taman nasional akan membatasi akses hidup, ruang adat, serta praktik budaya yang selama ini justru menjaga kelestarian Meratus.

"Hutan bagi kami adalah ibu dan bapa. Jika taman nasional dipaksakan, itu berarti menghilangkan sumber hidup dan identitas kami sebagai masyarakat adat," tegasnya.

Akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Netty Herawati, mengingatkan konservasi yang mengabaikan manusia di dalamnya adalah bentuk gagalnya kebijakan.

Netty menegaskan pentingnya prinsip bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC) dalam setiap rencana pengelolaan kawasan.

"Wilayah kelola masyarakat adat terbukti memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan berkontribusi nyata dalam menjaga ekosistem," paparnya.

Sementara itu, Kasi Pengukuhan dan Penggunaan Kawasan Hutan Dishut Kalsel, Arifuddin, menyampaikan status Taman Nasional Meratus hingga kini masih berupa usulan dan belum ditetapkan.

"Sampai sekarang ini hanya usulan dan belum ada penetapan," singkat Arif.

Editor


Komentar
Banner
Banner