bakabar.com, JAKARTA - Greenpeace dan koalisi terus memperjuangkan hutan adat Suku Awyu Papua. Selain berjuang untuk Suku Awyu, hutan adat yang tersisa merupakan benteng terakhir dari krisis iklim.
Hal itu disampaikan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjar Ali kepada bakabar.com. Menurut dia, selain menjadi kuasa hukum, pihaknya terlibat dalam kerja-kerja advokasi kasus Suku Awyu, karena berdampak luas terhadap kehidupan dan ekosistem.
"Benteng terakhir untuk menyelamatkan kita dari krisis iklim. Jadi pilihannya menyelamatkan hutan atau punah," ujar Sekar kepada bakabar.com, Rabu (2/8).
Sebagai informasi, perusahaan perkebunan Kelapa sawit yakni PT Indonesia Asiana Lestari (IAL) diduga area konsesinya mencakup hutan adat milik Suku Awyu. Diketahui rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit PT IAL luasnya mencapai puluhan ribu hektare.
Baca Juga: Gugatan Perusahaan Sawit ke PTUN, Greenpeace: Tentukan Nasib Suku Awyu
Meskipun belum beroperasi, kata Sekar, kehadiran PT IAL merupakan ancaman nyata bagi suku asal Papua itu. Ancaman atas kehilangan hutan, sungai dan isinya yang selama ini menjadi sumber kehidupan Suku Awyu.
Tak sampai di situ, lanjutnya, izin untuk perusahaan sawit tersebut ternyata tak sejalan dengan janji pemerintah mengatasi dampak perubahan iklim. Pasalnya, jika merujuk pada Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri, dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
"Sementara berbagai informasi resmi menyatakan, salah satu sumber emisi terbesar Indonesia berasal dari alih fungsi lahan dan deforestasi," terangnya.
Oleh karena itu, papar Sekar, izin lingkungan PT IAL diperkirakan akan memicu deforestasi di area yang mayoritas lahan hutan kering primer seluas 26.326 hektare. Jika lahan tersebut dibuka dan diganti komoditas sawit, maka jutaan ton emisi akan terlepas ke udara.
Baca Juga: Komnas HAM Klaim Dukung Upaya Lindungi Hutan Adat Suku Awyu Papua
"Dengan potensi emisi karbon yang terlepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2," papar Sekar.
Sebelumnya, persidangan lanjutan perkara gugatan dua perusahaan sawit terhadap KLHK yang menyangkut nasib hutan adat suku Awyu Papua telah digelar di PTUN Jakarta pada Selasa (1/8).
Pada persidangan itu, pihak tergugat menghadirkan pakar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro. Totok hadir sebagai saksi ahli dalam agenda mendengarkan pendapat ahli dari pihak tergugat.
Untuk diketahui, sekitar 8.828 hektare hutan adat Suku Awyu telah diserobot oleh dua perusahaan sawit yakni PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.
Baca Juga: Gugatan Perusahaan Sawit ke KLHK, Ahli: Status Hutan Bisa Diubah
Dua perusahaan itu sebenarnya telah dicabut izin konsesinya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar lewat Surat Keputusan NOMOR: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.
Tidak terima dengan keputusan Menteri LHK itu, kedua perusahaan yang sahamnya dikuasai Hayel Saeed Anam Group itu mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka menggugat keputusan Menteri LHK.