bakabar.com, BANJARMASIN - Kritik tajam menghantam proyek revitalisasi Sungai Veteran, Kota Banjarmasin.
Pengamat tata kota, Dr. Subhan Syarif menilai langkah Pemerintah Kota Banjarmasin justru mengabaikan fungsi utama sungai, meski proyek ini digadang-gadang sebagai solusi banjir.
“Proyek Sungai Veteran mestinya tidak sekadar menonjolkan aspek estetika, sementara fungsi utamanya justru terabaikan,” ujar Subhan.
Sebagaimana diketahui, revitalisasi Sungai Veteran ditujukan sebagai upaya mengendalikan banjir. Namun faktanya, beberapa waktu lalu saat hujan deras, kawasan sekitar proyek justru tergenang dan merendam permukiman warga.
Menurut Subhan, Pemkot Banjarmasin memilih memperkecil lebar badan sungai dengan dinding beton, seolah ‘menjinakkan’ sungai agar rapi dipandang. “Tetapi langkah ini salah kaprah dalam membaca tantangan global,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa pemanasan global kini meningkatkan frekuensi hujan ekstrem dan memperparah pasang. “Sungai seharusnya diberi ruang lebih luas untuk menampung volume air tambahan. Kalau malah disempitkan, itu sama saja mengundang banjir,” jelasnya.
Lebih jauh, Subhan menekankan suhu global yang naik bukan hanya menghangatkan udara, tetapi juga memengaruhi siklus air.
"Air laut memuai, permukaan naik, pasang semakin tinggi. Atmosfer yang lebih panas menyimpan lebih banyak uap air, lalu melepasnya sekaligus dalam bentuk hujan deras. Kombinasi keduanya menciptakan tekanan ganda,” ungkapnya.
Dalam kondisi itu, ia menilai proyek Sungai Veteran justru memperlemah daya tampung sungai. “Beton dan trotoar mungkin membuat kawasan tampak modern, tetapi tanpa ruang hijau bantaran dan tanpa pelebaran alur, sungai kehilangan perannya sebagai infrastruktur adaptasi iklim,” ucap Subhan.
“Banjarmasin dibangun di atas air. Falsafahnya bukan menyingkirkan sungai, melainkan hidup bersama dengannya. Itu yang kita lupakan,” sambungnya.
Menurut Subhan, penataan seharusnya difokuskan pada pengerukan sedimentasi, rehabilitasi vegetasi bantaran, serta integrasi dengan tata ruang kota yang adaptif. “Setiap kenaikan 1 derajat suhu bumi meningkatkan potensi banjir besar. Kalau respons kita justru memperkecil kapasitas sungai, berarti kita sedang menutup mata pada fakta sains,” katanya.
Ia memperingatkan, proyek semacam ini hanya akan menjadi “monumen beton”—rapi secara visual, tapi rapuh menghadapi realitas pemanasan global. “Yang dibutuhkan bukan sekadar keindahan fisik, melainkan keberanian merancang ulang kota dengan perspektif krisis iklim,” tegasnya.
Subhan juga mengaitkan fenomena ini dengan kondisi cuaca Banjarmasin yang semakin ekstrem. “Sekarang suhu saat kemarau rata-rata mencapai 34 derajat Celsius. Panas luar biasa muncul mendadak, lalu disusul hujan deras yang tak kalah ekstrem,” ungkapnya.
Menurutnya, cuaca ekstrem bukan hanya dampak pemanasan global, tetapi juga akibat pembangunan yang mengabaikan aspek ekologi. “Di Banjarmasin, pembangunan seringkali tidak mempertimbangkan lingkungan. Itu sebabnya kita semakin rentan,” pungkasnya.