bakabar.com, JAKARTA - Pemilu 2024 tidak bisa dilepaskan dari krisis iklim dan desakan transisi energi. Selama ini, kebijakan yang ada belum mampu mengakselerasi transisi energi, termasuk pelibatan masyarakat di dalamnya.
Hal-hal itu seharusnya harus dijawab oleh para bakal calon yang sekaligus harus dikerjakan kelak ketika terpilih nanti. Namun yang terjadi, ketidakpastian penanganan krisis iklim dan transisi energi justru menguat jelang Pemilu 2024.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai ada keengganan elit politik berkomitmen secara serius terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi. Hal itu erat hubungannya dengan aliran dana kampanye dari industri fosil (migas dan batu bara).
Bhima mengungkapkan, konflik kepentingan menghambat transisi energi di Indonesia. Padahal, dalam surveinya, CELIOS menunjukkan sebanyak 89% pemilih berusia muda menginginkan adanya percepatan penutupan PLTU batu bara.
Baca Juga: Aksi Power Up Orang Muda, Desak Komitmen Transisi Energi di Pemilu 2024
"Dan sebanyak 60% menginginkan agar energi terbarukan semakin mendominasi dalam bauran energi nasional," terangnya.
Sayangnya, desakan kaum muda seringkali diabaikan, kalah dengan kepentingan pelaku usaha di sektor fosil yang mendanai para kandidat pemilu. Belum lagi, dana-dana gelap energi kotor sulit dilacak.
Itu sebabnya, tegas Bhima, “Kampanye terkait transisi energi misalnya, senyap terdengar dalam berbagai kesempatan penampilan para Capres dan Caleg di publik.”
Video Journalist: Zulfatun Sholehah
Video Editor: Iskandar Zulkarnaen
Produser: Jekson Simanjuntak