kuliner khas

Mengenal Tradisi Pembagian Bubur Samin Gratis di Masjid Daarulsalam Solo

Bubur Samin yang berasal dari banjar yang dulu menjadi makanan kalangan internal Masjid Daarulsalam, kini dibagi gratis di Masjid untuk warga.

Featured-Image
Pembagian bubur samin di Masjid Daarulsalam Solo (Foto: apahabar.com/Arimbi Haryas)

bakabar.com, SOLO - Aroma gurih menyeruak ke setiap sudut halaman. Anak-anak sibuk berlalu-lalang membawa mangkok kosong, sementara para ibu yang membawa kotak makanan terlihat berbaris rapi.

Diiringi suara adzan ashar, masyarakat yang datang dari berbagai penjuru daerah itu memenuhi Masjid Daarulsalam, yang berada di Jalan Gatot Subroto, Jayengan, Kecamatan Serengan, Solo.

Sejak pukul 13.00 WIB, mereka sudah bersiap membawa alat makan kosong, untuk diisi bubur Samin, kuliner yang diburu saat Ramadan.

Baca Juga: Kulineran Suasana Baru, Lalapan Ikan Segar di Tepi Sungai Brantas

Meski bukan berasal dari Solo, bubur Samin seolah menjadi ikon kuliner Ramadan khas Masjid Daarulsalam dan Kampung Jayengan.

Bubur samin sejatinya adalah kuliner khas Banjar yang berbahan baku beras, daging sapi, susu, rempah, dan santan.

Ketua Takmir Masjid Darussalam Jayengan, Muhammad Rosidi Muhdor menceritakan, tradisi pembagian bubur samin gratis kepada masyarakat umum tersebut telah dilaksanakan Masjid Daarussalam, Solo sejak puluhan tahun yang lalu.

"Sampai sekarang, bubur samin masih diminati oleh warga sekitar masjid bahkan dari luar Solo sebagai menu buka puasa," kata Rosidi saat ditemui bakabar.com, Sabtu (1/4).

Baca Juga: Cerita Sambal Bakar Indonesia Bangun Bisnis Kuliner Berawal dari Permintaan Netizen

Rosidi menceritakan, pada masa itu bubSamin di Masjid Darussalam sebetulnya sudah ada sejak 1930, namun hanya untuk kalangan internal Masjid Daarussalam yang dahulu masih berupa Langgar.

"1930 itu belum dibagikan gratis untuk umum, hanya ulama dan jamaah Langgar Daarulsalam saja, internal," imbuhnya.

Namun, pada 1965, langgar dirobohkan dan diganti dengan bangunan masjid. Saat itu, menu bubur Samin juga masih disajikan untuk kalangan sendiri yang berbuka bersama di Masjid Daarussalam.

Baca Juga: Mencicip Empal Gepuk, Makanan Khas Sunda yang Dulu Dibuat untuk Menghormati Umat Hindu

Lebih lanjut, Rosidi menuturkan, baru pada 1985 panitia takmir masjid berikrar akan memberikan bubur Banjar Samin ini dengan gratis.

"Pembagian bubur samin gratis itu berdasarkan dari hadis riwayat Ahmas (HR. Ahmad)," jelasnya.

Adapun hadist yang dimaksud mengatakan, "Barang siapa memberi orang yang berpuasa maka pahalanya seperti orang yang berpuasa itu dan tidak mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut."

"Pertamakali dibagikan gratis kepada warga, beras yang dimasak menjadi bubur samin hanya 15 kilogram," jelasnya.

Baca Juga: Jangan Dibuang! Sulap Makanan Sisa Jadi Cuan yang Lezat

Seiring berkembangnya zaman, beras yang dimasak bubur Samin sudah menjadi 50 kilogram per hari. Setelah dimasak, beras tersebut menjadi 1.100 porsi.

Menurut Rosidi, pihaknya selalu menyediakan khusus untuk jemaah sebanyak 200 porsi untuk takjil buka bersama di Masjid Daarussalam.

Sedangkan 900 porsi untuk dibagikan kepada masyarakat umum, dari manapun, agama apapun, tanpa syarat alias cuma-cuma.

"Bukan hanya fakir miskin tapi siapa saja yang berhasrat buka puasa dengan bubur samin," imbuhnya.

Baca Juga: Daftar Makanan Fermentasi yang Baik untuk Kesehatan Usus

Lebih lanjut, Rosidi menuturkan, proses pembuatan bubur Samin memakan waktu yang cukup lama yakni dari pukul 11.30 WIB hingga 15.00 WIB.

Rosidi menuturkan, setiap hari, porsi yang disediakan untuk masyarakat memang sangat banyak karena yang datang untuk berburu bubur samin ini tak hanya berasal dari Solo tapi juga beberapa masyarakat daerah lain seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, hingga Klaten.

Memiliki berbagai khasiat

Sementara itu, Takmir Masjid Daarussalam, Subandi mengatakan bubur samin memiliki khasiat tertentu yang hingga kini dipercaya oleh masyarakat.

"Bubur ini diyakini memiliki khasiat khusus, ini cerita tapi nyata. Ada yang sakit minta bubur sini waktu itu puasa lalu sembuh," kata Subadi.

Tak hanya itu, Subandi menceritakan, ada kejadian unik tentang seorang ibu hamil yang jauh-jauh dari Jakarta ke Masjid Daarulsalam lantaran nyidam bubur samin.

Kemudian setelah dibawakan bubur samin, perut ibu tersebut langsung terasa enak dan tidak mual.

"Ibu hamil itukan orang Jakarta naik pesawat sampai di sini minta bubur. Katanya lihat dari televisi, dibawa pulang. Alhamdulillah katanya enak, perutnya enak, ga mual-mual. Ya Allahuallam, itu cuma mitos, tapi kenyataannya ada," jelasnya.

Antrian panjang pembagian bubur samin di Masjid Daarulsalam Solo (Dok. Apahabar.com/Arimbihp)
Antrian panjang pembagian bubur samin di Masjid Daarulsalam Solo (Foto: bakabar.com/Arimbi Haryas)

Tak hanya saat Ramadan

Meski kondang sebagai ikon kuliner Ramadan, ternyata bubur samin juga dibagikan saat bulan Muharram dan bulan Rajab atau Syakban.

Baca Juga: Cara Menangkal Emosi Buruk saat Berpuasa, Hindari Makanan Berlemak Salah Satunya

Ketua Panitia Wisata Religi Ramadan Masjid Daarussalam Jayengan, Noor Cholish mengatakan, bubur samin juga dibagikan di setiap peringatan malam 10 Muharram kalau bulan Syakban saat peringatan Nisfu Syaban.

Warga yang menginginkan bubur Samin, bisa datang dengan membawa wadah sendiri. Untuk menghindari terjadinya kerumunan, warga terlebih dahulu mengantrekan wadah.

"Nanti antre dulu, wadahnya diantrekan di meja yag disediakan panitia. Agar gak desak-desakan," katanya.

Awalmula suku Banjar banyak yang tinggal di Kampung Jayengan dan sekitar Masjid Daarulsalam.

Baca Juga: Kreatif! Warga Binaan Lapas Banyuwangi Ngabuburit dengan Melukis dan Membatik

Ketua Jayengan Kampung Permata, Yusuf Akhmad Al Khatiri mengatakan, pada masa pemerintahan Pakubuono II sekitar 1749, banyak orang Banjar yang diundang oleh pihak Keraton Solo sebagai pembuat perhiasan.

"Kala itu, perhiasan paling maju dan yang paling indah disebutnya memang ada di tanah Martapura," katanya.

Mulanya, sambung Yusuf, Pakubuono II mengundang pemuda Martapura (Banjar) kurang lebih berjumlah lima hingga sepuluh orang.

"Para pembuat perhiasan dari Banjar itu bermukim di sini untuk mengerjakan perhiasan itu dan butuh waktu sampai tiga bulan untuk mengerjakan tugasnya," ujar Yusuf.

Lambat laun, para pengrajin perhiasan itu akhirnya tinggal menetap lantaran tak sempat pulang ke kampung halamannya.

Bahkan, para pengrajin dari banjar kian hari terus bertambah banyak yang datang ke Solo dan tinggal menetap.

"Cukup lama mereka tinggal, maka kemudian dapat jodoh orang sini, laki-lakinya orang Banjar, istrinya Jawa. Kemudian ada istilah Jarwono, Banjar Jowo Cino," ujar Yusuf.

Baca Juga: Selama Ramadan, Ada 1000 Porsi Bubur di Masjid Sabilal Muhtadin Banjarmasin

Yusuf mengatakan, tradisi berbuka bersama dan aneka kuliner termasuk bubur samin itulah yang mereka bawa dari daerahnya, dan selanjutnya terkenal di Solo.

"Akhirnya seiring berjalannya waktu, banyak kuliner Banjar yang justru jadi ikon, seperti bubur Samin dan ada juga kue Bingka," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, seorang warga asal Boyolali, Yunisa (34) yang ikut mengantre bubur samin mengatakan, dirinya berangkat dari rumah pukul 14.00 WIB agar bisa kebagian kuliner gratis tersebut.

"Perjalanannya dari rumah 1 jam, setiap tahun saat ramadan saya selalu cari, soalnya gratis dan bawa berkah," katanya.

Baca Juga: Kreatif! Warga Binaan Lapas Banyuwangi Ngabuburit dengan Melukis dan Membatik

Yunisa yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang sayur di Pasar Selo itu datang bersama anak sulungnya dengan membawa 4 kotak makan.

"Rencananya mau dimakan di rumah, 3 untuk anak-anak, 1 untuk saya 1 untuk suami," paparnya.

Merski harus mengantre lebih dari 1 jam, Yunisa mengaku tidak keberatan asalkan tetap kebagian.

"Tidak masalah, justru yang dirindukan setiap tahunnya tradisi ngantre dan dapat bubur ini, walaupun gratis rasanya tetap enak," ujarnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner