bakabar.com, JAKARTA - Sejumlah masyarakat suku Awyu menyambangi Kantor Komnas HAM, Jakarta untuk mengadukan perusahaan sawit yang mencaplok hutan adat, Selasa (9/5).
Pantauan bakabar.com, mereka tiba di Kantor Komnas HAM pukul 14.20, Selasa (9/5). Dengan mengenakan pakaian adat, mereka juga membentangkan spanduk berwana kuning bertuliskan "Save Indigenous Papua Forest,".
Lalu masyarakat suku Awyu juga membawa sejumlah poster berisikan penolakan deforestasi oleh perusahaan sawit di wilayah tanah adat mereka.
Baca Juga: Fatia Klaim Komnas HAM Prihatin Atas Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik
Masyarakat suku Awyu datang jauh dari Boven Digoel, Papua Selatan untuk mengadu kepada Komnas HAM karena kehidupan mereka terancam oleh perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) yang mencaplok hutan tanah adat mereka.
"Pelanggaran HAM terjadi di wilayah tanah adat kami, terutama hak kami dirampas, dilanggar oleh investasi perkembangan sawit di wilayah tanah adat kami," ujar perwakilan masyarakat adat Awyu, Hendrikus Franky Woro di Kantor Komnas Ham, Jakarta, Selasa (9/5).
Baca Juga: Empat Tuntutan Komnas HAM soal Kriminalisasi Budi Pego
Bagi Suku Awyu, hutan adat merupakan sumber kehidupan dan bagian dari yang tak terpisahkan. Keberadaan perusahaan sawit tersebut dinilai sebagai ancaman nyata bagi mereka.
Hutan yang telah menjadi tempat tinggal Suku Awyu sejak turun temurun terancam hilang, dan masyarakat adat tidak tahu harus tinggal dimana jika hutan tersebut berubah menjadi perkebunan sawit.
"Masyarakat hidup ketergantungan kepada alam tempat kami tinggal, sejak dari turun temurun dari sejak leluhur kami, hutan adalah sumber kehidupan kami," ujarnya.
"Saya sampaikan bahwa tanah tidak ada bibit di atas dunia, sehingga kalau hutan kami digusur terus kami mau ke mana, maka di sini kami datang kepada Komnas HAM," sambung dia.
Baca Juga: Komnas HAM: Sidang Tragedi Kanjuruhan Diwarnai Intimidasi dan Tekanan
Franky juga meminta Komnas HAM untuk membuat tim untuk mengadvokasi tuntutan mereka dan meminta Komnas HAM melihat langsung kondisi di hutan adat yang di ambang pilu.
"Kami minta Komnas HAM membuat satu tim untuk advokasi di lapangan sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM di wilayah tanah adat kami, itu bisa lebih serius ditangani," jelasnya.
Kehadiran perusahaan sawit tersebut juga mengancam ruang hidup dan menimbulkan konflik horizontal di antara marga-marga Suku Awyu. Marga Woro dan Awe merupakan bagian dari marga yang menolak.
Baca Juga: Datangi Komnas HAM, Peternak Ayam Keluhkan Usaha Bangkrut hingga Bunuh Diri
"Kami masyarakat adat dulu itu hidup sangat aman, tentram dan damai, tapi dengan ada investor perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk, kami di sana itu hampir mau timbul konflik, ujarnya.
Mereka pun juga meminta kepada pemerintah agar mencabut konsesi perkebunan sawit milik PT IAL yang merambah wilayah tanah adat.
PT IAL mendapat izin lokasi perkebunan sawit seluas 39.190 hektar sejak 2017. IAL mendapat lahan dari PT Energy Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sebelumnya hendak menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel.
"Izin perusahaan sawit harus dicabut, karena mengancam kehidupan kami," pungkasnya.