Masjid Bersejarah

Masjid Al Mahdi Wujud Akulturasi Budaya dan Syiar Islam Mualaf Tionghoa

Masjid bergaya Tiongkok itu didirikan Ustadz Mahdi, seorang warga keturunan Tionghoa yang menjadi mualaf sejak usianya 10 tahun.

Featured-Image
Masjid Al Mahdi bernuansa Tiongkok di Magelang (Apahabar.com/Arimbihp)

bakabar.com, MAGELANG - Bangunan bernuansa merah itu berdiri kokoh di pusat Kota Sejuta Bunga.

Langit-langitnya dihiasi lampion bernuansa senanda dengan aneka ornamen pelengkapnya.

Tepat pukul 12.00 WIB, merdunya adzan terdengar lantang dari dalam bangunan berarsitektur Tiongkok tersebut.

Meski sepintas terlihat seperti Klenteng, bangunan yang berada di Jalan Delima Raya, Kramat Utara, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang itu ternyata adalah Masjid.

Baca Juga: Menyusuri Jejak Sejarah GPIB Beth El Magelang Usianya Lebih dari 2 Abad

Masjid bergaya Tiongkok itu didirikan Ustadz Mahdi, seorang warga keturunan Tionghoa yang menjadi mualaf sejak usianya 10 tahun.

Sosok bernama asli Kwee Giok Yong itu membangun masjid lantaran sekitar 2016,  warga sekitar Kramat dan Perumahan Armada Estate harus menempuh jarak sekitar 4 hingga 5 meter kilometer untuk menuju masjid terdekat.

Kemudian, ia membeli rumah di sudut Jalan Delima untuk di wakafkan yang akhirnya diberi nama Masjid Al-Mahdi.

Perjalanan Ustadz Al-Mahdi menjadi mualaf dan mendirikan masjid bergaya Tiongkok

Kepada bakabar.com, Mahdi menceritakan, masjid tersebut adalah bentuk dakwah dan syiar yang ia lakukan sekaligus saksi perjuangannya memeluk Islam.

Pasalnya, keputusan Mahdi kala itu berpindah agama dari Khong Hu Cu menjadi Islam sempat ditolak keras keluarga besarnya.

Terlebih, sebagai seorang keturunan China asli yang datang dari daratan Tiongkok, Mahdi dibesarkan di keluarga yang taat dalam beragama Khonghucu.

"Kakek saya asli Tiongkok. Masuk ke Surabaya sekitar 1930 an, menyelundup tanpa dokumen kala itu," ujar Mahdi.

Baca Juga: Mengupas Sejarah Soreng, Tentang Arya Penangsang dan Dendamnya pada Hadiwijaya

Tak hanya kakeh Mahdi, pada era 1930-an, diperkirakan 500 ribu orang Tiongkok pindah ke Hindia Belanda.

Pasalnya, dibukanya lahan perkebunan oleh pemerintah kolonial tahun 1860-1890 mendorong migrasi besar-besaran tersebut.

Keahlian orang Tiongkok dalam hal perdagangan, berkebun, kerajinan kayu dan emas, membuat mereka cepat beradaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat Nusantara.

"Sebagian warga Tiongkok bertahan tinggal di Nusantara, menikah dengan warga lokal, termasuk kakek saya yang menikahi perempuan berdarah Madura," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Mahdi kulit hitam yang ia miliki mengikuti darah neneknya yang merupakan keturunan Madura.

Baca Juga: H+2 Lebaran, Pengunjung Masjid Sheikh Zayed Mencapai 15 Ribu Lebih

Mahdi kecil yang kala itu berusia 5 tahun tinggal hingga remaja di sudut kampung Jelambar, Jakarta Barat.

Di kampungnya, keluarga Mahdi satu-satunya warga penganut Kong Hu Cu namun bisa bergaul akrab dengan anak-anak sebaya yang semuanya beragama Islam.

Kala itu, sudah menjadi kebiasaan anak-anak belajar mengaji di masjid atau langgar usai shalat Maghrib sampai masuk waktu Isya. Aib jika anak-anak masih main di jalanan bakda Maghrib.

“Karena saya nggak punya teman main karena ngaji semua, akhirnya saya ikut masuk masjid juga,” ungkapnya

Saat menunggu, Mahdi ikut mendengarkan kawan-kawannya mengaji. Saat surat Al Fatihah dilantunkan dia merasa hatinya tentram.

Tak sampai di situ saja, Mahdi merasa “kecanduan” mendengar bacaan Al Quran meski ia sama sekali nggak ngerti artinya.

"Saya merasakan nikmat. Akhirnya saya nggak pernah lepas ngeriung (kumpul) di langgar," sambungnya.

Mengikuti kata hati, Mahdi pun merasa terpanggil untuk mengikuti gerakan shalat teman-temannya.

"Saat yang lain belajar menghafal surat Al Fatihah dan ayat Kursi, saya juga ikut menghafal meskipun saat itu belum mengucap syahadat," tuturnya.

Baca Juga: Masjid Paromosono, Saksi Perpindahan Kartasura ke Keraton Kasunanan

Meski demikian, Mahdi masih merasa takut untuk jujur kepada keluarganya lantaran ia tahu ayahnya keras memegang keyakinan Konghucu dan pasti murka jika tahu anaknya tertarik memeluk agama Islam.

Terlebih, 2 kakak Mahdi sudah lebih dulu menjadi mualaf dan mengganti nama China mereka menjadi Taufik dan Hidayat.

"Bagi orang Tionghoa, malu besar jika ada anggota keluarga yang masuk Islam. Mereka biasanya akan diusir dari rumah, dihapus dari daftar penerima warisan, atau dikucilkan oleh komunitas China," paparnya.

Baca Juga: Kemenag Solo Janjikan Pembayaran Soal Gaji Karyawan Masjid Raya Sheikh Zayed Segera Teratasi

Bahkan, Mahdi sempat mendapat berbagai ancaman dari ayahnya yang mulai tahu kalau anaknya tertarik dengan Islam.

"Saya diancam oleh bapak, ‘Papa sudah kecolongan 2 anak (masuk Islam), jangan sampai yang ketiga kali kamu’. Padahal waktu itu saya sudah tertarik,” ujar Mahdi.

Walaupun mendapat berbagai tekanan, tekad Mahdi untuk menjadi muslim sudah bulat.

Hingga pada 17 Ramadan saat usianya masih 10 tahun, Mahdi diajak kakaknya menemui Habib Muhammad bin Hasan Alaydrus di bilangan Rawabuaya, Jakarta Barat.

"Kebetulan Habib Muhammad mendapat giliran memimpin shalat tarawih di masjid tersebut," sambungnya.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Pembagian Bubur Samin Gratis di Masjid Daarulsalam Solo

Habib Muhammad lah yang kemudian menuntun membaca kalimat syahadat sekaligus memberi nama 'Mahdi' kepadanya.

Nama Mahdi memiliki arti orang yang mendapat hidayah. 

Di rumah, Mahdi merahasiakan sudah masuk Islam. Shalat dan puasa dilakukan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh kedua orang tua.

Saat bulan Ramadhan tahun berikutnya, Mahdi mulai belajar mengaji kepada Habib Husein bin Muhammad Alaydrus. 

Selain berguru kepada Habib Muhammad, Mahdi juga kerap menghadiri taklim Habib Abdurrahman Al Jufri di Pekojan, Jakarta Barat untuk belajar ilmu fikih lanjutan.

Suasana di dalam Masjid Al Mahdi (Apababar.com/Arimbihp)
Suasana di dalam Masjid Al Mahdi (Apababar.com/Arimbihp)

Mahdi dan sunat

Saat masuk SMP dan mendekati usia baligh Mahdi akhirnya mengadu pada ibunya bahwa dia telah memeluk agama Islam lantaran sang guru memintanya untuk khitan atau sunat.

Di luar dugaan, reaksi ibu Mahdi justru positif dan memberi dukungan sepenuhnya atas keputusan tersebut.

Tidak hanya mendukung, ibu juga membantu Mahdi merahasiakan status ke-Islaman di hadapan ayah.

Akhirnya, berbekal uang Rp 15 ribu untuk ongkos dokter, Mahdi diantar dan tetangga ke tempat khitan.

Baca Juga: Pembangunan Sudah 30 Persen, Masjid Agung Magelang Ditargetkan Rampung 2024

Namun, Mahdi berbohong kepada keluarga, meminta izin pergi menginap 2 malam mewakili tim basket sekolah pergi bertanding ke Cirebon. 

Jika bagi anak-anak-anak lain khitan adalah peristiwa besar, tidak demikian dengan Mahdi. Mahdi ditampung di rumah tetangga untuk menyembuhkan luka khitan.

“Di situ malam-malam saya dibikinkan nasi kuning. Jadi yang bikin selamatan tetangga saya. Diselametin layaknya punya anak khitan lah,” ujar Mahdi terharu.

Jauh dalam lubuk hatinya, Mahdi sebenarnya merasa ayahnya sudah curiga bahwa dia masuk Islam.

Meski demikian, ayah Mahdi belum punya alasan kuat untuk menentang lantaran Mahdi menunjukkan bakti kepada orang tua.

 “Saya menunjukkan Islam ini agama yang birrul walidain. Bakti sama orang tua. Bapak saya tahu (masuk Islam) tapi pura-pura nggak tahu," ujarnya

Walaupun terus mendapat ujian dan tekanan yang bertubi-tubi, Mahdi percaya bahwa niatnya memeluk Islam bukan sebuah kekeliruan dan suatu saat pasti ada ada titik terang.

"Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar batas dan kemampuannya, terlebih jika kita mau bertobat dan berusaha, pengampunan pasti ada, Dia Maha Pemaaf dan Maha segalanya," papar Mahdi.

Penantian dan perjuangan Mahdi berbuah manis, saat menjelang masuk SMA, pada suatu kesempatan bapaknya seolah merestui Mahdi memeluk Islam.

“Dia bilang: Itu sudah waktu shalat, nggak shalat kamu? Saya langsung deg. Berarti sudah meridho. Setelah itu bebas sudah sampai kuliah," tutur Mahdi.

Ornamen lampion di Masjid Al Mahdi (Apahabar.com/Arimbihp)
Ornamen lampion di Masjid Al Mahdi (Apahabar.com/Arimbihp)

Ornamen yang terinspirasi dari Syiar Islam di Tiongkok

Mahdi menuturkan, Masjid yang ia bangun terinsprirasi mengambil bentuk klenteng untuk syiar.

"Saya pernah melihat sendiri, di China saja ada masjid. Perkembangan Islam sampai sana. Termasuk juga menarik orang untuk masuk Islam,” kata Mahdi.

Guna memperkuat kesan Tiongkok, Mahdi sengaja mengecat masjid tersebut dengan warna merah dan emas.

Namun demikian, ia tidak menghilangkan ciri masjid dari luar tampak pada puncak menara yang bertuliskan lafal Allah.

Bukan hanya itu, Mahdi juga melengkapi Masjid tersebut dengan sejumlah kaligrafi Arab.

Apahabar.com juga melihat tiap pintu masjid dipajang hiasan babul ilmi (pintu ilmu) Alaydrus, Habsyi, Assegaf, dan bin Hafidz.

"Hiasan itu sebagai penghormatan sekaligus pengingat pada marga para guru Ustadz saya," pungkas Mahdi.

Editor


Komentar
Banner
Banner