bakabar.com, JAKARTA - Debat perdana tiga calon presiden bertema Kumham, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi, dinilai masih belum menyentuh sisi substansi permasalahan. Khususnya, mengenai penuntasan pelanggaran HAM di Papua.
Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Herlambang Wiratraman menilai para capres masih menggunakan kerangka kekerasan dengan mengaitkan persoalan Papua dengan separatisme.
"Ganjar menyebut diupayakan dengan pendekatan dengan dialog. Dialog yang seperti apa? kebijakan politik hukum seperti apa? terasa sangat dangkal sekali. Sementara Anies mengusung soal keadilan? Apa iya masalahnya keadilan semata?," katanya kepada bakabar.com, dikutip Sabtu (16/12).
Baca Juga: Kekuatan Oligarki Setir Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Herlambang menerangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sesungguhnya sudah membuat peta jalan penyelesaian akar kekerasan di Papua. Namun, sayangnya peta jalan yang disusun peneliti BRIN tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah.
"Apakah roadmap itu digunakan pemerintah? Tidak!" kata Herlambang yang juga dosen FH UGM.
Padahal, negara maju di dunia menghargai peran intelektual melalui rekomendasi kebijakan berbasis sains yang ditujukan kepada pemerintah.
Baca Juga: Panglima TNI Agus Harus Atasi Akar Masalah Papua!
Baca Juga: Janji Jenderal Agus untuk Papua Jika Jadi Panglima TNI
Diketahui peta jalan BRIN tersebut disusun secara detail dengan melibatkan Forum Akademisi Papua Damai. Adapun mengenai isinya, memuat mengenai prasyarat dan sederet tahapan yang harus dilakukan.
Herlambang mengurai akar kekerasan yang terjadi di Papua karena pemerintah tidak serius menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
"Itu akan menjadi borok dan tidak diterima masyarakat Papua. Maka impunitas harus dihentikan," jelasnya kepada bakabar.com.
Baca Juga: Imparsial Soroti Fenomena TNI Geruduk Polisi: Revisi UU Peradilan Militer!
Baca Juga: Pilot Susi Air Tak Kunjung Bebas, Imparsial Desak Optimalkan Pendekatan Nonmiliter
Selain itu, kekerasan yang terjadi disebabkan masalah teritorial yang sering dilanggar aparat militer. Karena itu, Herlambang menilai diperlukan moratorium menghentikan perluasan teritorial militer.
Sebab, keberadaan aparat militer di kawasan pemukiman warga Papua kerap dianggap mengancam.
Di sisi lain, rasisme juga muncul di ruang peradilan saat warga Papua sedang memperjuangkan haknya sebagai warga negara. Kondisi tersebut yang mendorong warga Papua tersingkir melalui mekanisme hukum yang berujung kriminalisasi.
"Belum lagi ketidakkonsistenan parpol yang tidak ada keseriusan membahas UU Otsus Papua yang hanya mengakomodir politisi di Jakarta," pungkasnya.