bakabar.com, JAKARTA - DPD RI menghelat silaturahmi kebangsaan bertema Menakar Konsekuensi Kenegaraan terhadap Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023.
Inpres berisikan pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat.
Ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattalitti berkata Inpres tersebut didahului dengan lahirnya keputusan presiden (kepres) nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu.
Baca Juga: PDIP Patok Syarat Capres 2024 Mesti Hormati HAM!
"Kepres itu menugaskan DPP HAM yang menerima data dari komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat masa lalu, untuk memberikan rekomendasi penyelesaian non-yudisial," ujar La Nyalla di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/5).
Rekomendasi yang ditujukan untuk korban dan keluarga korban meliputi rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa serta rekomendasi lainnya.
Menurutnya, sejak lahirnya Kepres 2022 tersebut muncul polemik di kalangan masyarakat mengingat salah satu rekomendasi dari Komnas HAM yang harus diselesaikan adalah peristiwa upaya kudeta berdarah dan bersenjata yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965.
Baca Juga: Korban Kasus Klitih Disiksa, Amnesty: Ini Pelanggaran HAM Berat
"Bangsa ini masih belum dapat menerima secara hitam-putih, bahwa dalam peristiwa 1965-1966 seperti yang dinyatakan komnas HAM bahwa mereka yang terlibat atau pengikut PKI (pegiat dan keluarga pegiat) adalah korban pelanggaran HAM berat," tegasnya.
Lebih lanjut, menurutnya upaya penyelesaian yudisial tidak dapat ditempuh karena Kejaksaan Agung Republik Indonesia menilai kurang atau lemahnya alat bukti.
"Inpres tersebut memerintahkan kepada 19 institusi negara yang terdiri dari 16 Kementerian ditambah Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri untuk melaksanakan rekomendasi DPP HAM," imbuhnya.
Baca Juga: YLBHI: 2022 Negara Berperan Aktif Menjadi Pelaku Pelanggaran HAM
Ia menilai pentingnya memperjuangkan agar Pancasila dapat kembali menjadi norma hukum tertinggi di konstitusi Indonesia yang telah telah tertinggal akibat banyaknya konstitusi lain.
"Sistem bernegara yang bercorak liberal hanya melahirkan oligarki ekonomi yang semakin menguasai negara," tuturnya.
"Saya menawarkan gagasan untuk lahirnya konsensus nasional bangsa ini, yang melibatkan seluruh elemen bangsa baik sipil maupun militer untuk kembali ke Pancasila sesuai keinginan para pendiri bangsa," pungkasnya.