Kontroversi KRIS JKN

Kontroversi KRIS JKN, YLKI: Pemerintah Jangan Ngotot

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, pemerintah terlalu ngotot dalam mengeluarkan Kebijakan Kelas Rawat Inap Sta

Featured-Image
Puskesmas Cilandak, Jaksel melayani pasien HIV-AIDS. Foto: Depkes.org.

bakabar.com, JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta pemerintah jangan memaksakan kebijakan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN). 

Meskipun secara sosiologis JKN KRIS dianggap sebagai kebijakan yang membumi, bahkan egaliter, namun ia menilai masih belum jelas transparansi terkait kelas standar. Yang menyamaratakan seluruh kelas pasien.

"Apalagi jika dikaitkan dengan faktor empirik kebutuhan konsumen, yang sangat mendesak adalah standarisasi pelayanan, bukan kelas standar," ucap Tulus kepada bakabar.com, Jumat (28/7).

Baca Juga: YLKI: KRIS JKN Timbulkan Ketidakadilan Baru

JKN KRIS, katanya, praktis tidak mempunyai landasan filosofis dan sosiologis yang jelas dan konkret. Terlebih dari aspek normatif pun masih terbuka ruang untuk diperdebatkan. 

"Oleh karena itu, yang sangat dibutuhkan konsumen rumah sakit, adalah standarisasi pelayanan," tegas Tulus.

Tak sampai di situ, ia turut menyentil kebijakan pemerintah yang satu ini hanya akan menciptakan bom waktu. Misal, pihak rumah sakit harus merogoh kocek tambahan atau investasi baru.

Baca Juga: Dari Sidang Doktoral Arief Rosyid, Tercetus Ide Merger JKN dan AKT  

Tentunya untuk menata ulang infrastruktur rumah sakit, baik itu ruangan dan alat-alat kesehatan. Kemudian, sambungnya, juga akan menggerus pendapatan rumah sakit.

Dalam hal ini, Tulus mencontohkan salah satu rumah sakit yang berlokasi di Tangerang. Di sana, memang sudah lama menerapkan kelas non-standar.

Revenue yang diperoleh, ujar Tulus, yakni dari pelayanan non-kelas hanya sebesar 38%. Sedangkan 62%, khusus untuk gaji tenaga kesehatan dan karyawan lainnya ditanggung penuh oleh APBD Kota Tangerang.

Baca Juga: Layanan JKN-KIS, KSP: Kepercayaan Publik Cukup Tinggi

"Artinya risiko finansialnya sudah diketahui dan diantisipasi, plus telah disiapkan alokasi biaya yang cukup untuk menomboki kekurangan biaya operasional RSUD tersebut," jelas Tulus.

Sebelumnya, rencana pemerintah menghapus sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan dan mentransformasinya ke dalam bentuk sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dipastikan akan terus berjalan.

Tahapanya kebijakan ini akan dimulai tahun ini dengan menerapkan standarisasi ruang rawat inap kelas 3 di tiap-tiap RS.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa standarisasi kelas BPJS Kesehatan diperlukan. Lantaran BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan sosial.

"Semua 275 juta rakyat Indonesia dapat. Dapatnya apa? Sama. Jangan orang kaya, dia dapat lebih tinggi dibanding orang miskin," kata Budi beberapa waktu lalu.

Editor


Komentar
Banner
Banner