bakabar.com, JAKARTA - Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) berpotensi menimbulkan ketidakadilan baru dalam aspek ekonomi maupun sosial.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana mengganti BPJS Kesehatan Kelas 1,2 dan 3 oleh KRIS JKN.
Standarisasi pelayanan sangat dibutuhkan oleh para pasien. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi melihat hingga kini belum ada standarisasi pelayanan untuk semua kategori peserta dan kelas JKN.
Baca Juga: Kritik KSPI Terkait Kebijakan KRIS JKN: Tak Jelas Transparansinya
"Sedangkan JKN KRIS, praktis tak punya landasan filosofis dan sosiologis yang jelas dan konkret," kata Tulus kepada bakabar.com, Jumat siang (28/7).
Ia pun menilai bahwa kebijakan baru itu justru menjadi beban baru bagi pasien. Dengan program JKN KRIS, peserta kelas tiga akan mengalami kenaikan tarif atau iuran, di luar iuran reguler.
Sedang untuk peserta kelas satu akan mengalami penurunan kelas. Yakni menjadi kelas standar (kelas dua). Kemudian, iuran yang dibayarkan tetap. Yakni sebagai kategori kelas satu.
Baca Juga: Dari Sidang Doktoral Arief Rosyid, Tercetus Ide Merger JKN dan AKT
"Kerugian lain, jika peserta kelas satu tidak mau dengan pelayanan kelas standar yang ada, maka konsumen akan ditolak rumah sakit, dan diminta untuk memilih rumah sakit lain," ujarnya.
Sebab itu, ia meminta pemerintah sebaiknya untuk tidak memberlakukan KRIS JKN. Agar tak menimbulkan persoalan baru di publik.
"Bagi konsumen, yang sangat mendesak adalah standarisasi pelayanan, bukan kelas standar," tegasnya.
Sebagai pengingat, pemerintah berencana mengganti kelas iuran BPJS Kesehatan 1,2, dan 3. Sebagai gantinya, diberlakukan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) akan diberlakukan.
Hal itu pertama kali diutarakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seusai menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI Februari lalu.
"Yang jelas itu bertahap sampai akhir 2025," paparnya.