News

Koalisi Berani Sebut Perda Diskriminatif Lahirkan Intoleransi 

Memasuki tahun politik, banyak politisi memilih menggunakan pendekatan politik identitas yang mengkambing hitamkan minoritas.

Featured-Image
Perda diskriminatif memberikan ruang perkembangan intoleransi.(Foto: Perspektif)

bakabar.com, JAKARTA - Maraknya kebijakan-kebijakan diskriminatif berupa peraturan daerah (perda) anti LGBT di berbagai wilayah di Indonesia kini semakin meresahkan. Pasalnya dari peraturan daerah tersebut, diskriminasi dan intoleransi kerap lahir dan merebak di tengah masyarakat.

Merespon hal ini Koalisi KAMI BERANI yang terdiri dari 24 organisasi masyarakat sipil menyayangkan kebijakan tersebut.

Berdasarkan pemantauan Koalisi Kami Berani, dalam kurun waktu Desember 2022 hingga Januari 2023, terdapat 4 daerah di Indonesia yang menyatakan akan mengajukan raperda diskriminatif yang anti LGBT, yaitu Garut, Bandung, Makassar, dan Medan.

Baca Juga: 5 Kejanggalan Pengakuan Presiden Terhadap Pelanggaran HAM Berat Menurut YLBHI

Perda diskriminatif yang penuh dengan kebencian ini meluas akibat politik praktis yang dilakukan oleh para politisi dengan tujuan meraup suara dengan menggunakan politik identitas. 

Politisi baik nasional dan di daerah sayangnya tidak memiliki kerangka kebijakan yang baik untuk ditawarkan ke masyarakat. Padahal politik praktis ini akan berbahaya bagi kestabilan sosial, politik, ekonomi, hukum dan keamanan di masyarakat.

Selain itu, hal ini juga dinilai akan semakin menjauhkan dan menghambat pencapaian target-target pembangunan yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia.

Sebagai contoh, perda-perda yang mengatasnamakan moralitas seperti perda P4S Kota Bogor, yang digadang-gadang sebagai upaya pemerintah kota bogor menekan penyebaran HIV/AIDS, justru akan semakin memperburuk respon kesehatan di Kota bogor itu sendiri.

Baca Juga: Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai Divonis Bebas, Amnesty: Buka Kembali Penyelidikan

Data global menunjukkan bahwa, kebijakan-kebijakan diskriminatif justru akan membuat orang-orang yang hidup dengan HIV atau rentan terhadap HIV semakin enggan mencari layanan kesehatan, karena takut akan stigma dan diskriminasi.

Pendekatan hukum dan kebijakan berbasis moral dan identitas semacam ini menjauhkan publik dari krisis yang sebenarnya dihadapi Indonesia. Saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup di dunia, dengan indeks persepsi korupsi di bawah 40.

Indeks negara hukum Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun dan Indonesia saat ini secara global berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakan negara hukum. 

Dari sisi pendidikan, hanya 19% penduduk Indonesia berusia antara 25-34 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi. Jumlah ini sangat rendah dibanding dengan negara-negara OECD lainnya, yang rata-rata tingkat pendidikan tingginya berkisar di 47%. 

Baca Juga: YLBHI: 2022 Negara Berperan Aktif Menjadi Pelaku Pelanggaran HAM

Selain itu, negara dinilai tidak belajar dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya yang menggunakan politik identitas sebagai alat. Padahal Pidato Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 di Istana Negara lalu mengenai Pelanggaran HAM masa lalu yang telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sang presisen juga berjanji akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesain secara yudisial.

Nono Sugiono, Ketua Arus Pelangi salah satu juru bicara Koalisi mengatakan, jika pemerintah tidak belajar dari kesalahan yang sama.

“Pemerintah tidak belajar dari kasus-kasus intoleran yang merupakan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Intoleransi dan kebencian berdasarkan identitas memecah belah anak bangsa, dan membuat Indonesia menjadi negara yang semakin terbelakang,” tuturnya pada Senin (30/01).

“Karena fokus politisinya adalah politik praktis yang memainkan identitas kelompok rentan,” imbuhnya. 

Baca Juga: Protes Pelanggaran HAM, AMI: Kekerasan Terhadap Umat Muslim di China Masih Merajalela

Komitmen yang disampaikan Presiden Jokowi dan data-data di atas menunjukan pemerintah Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan berhenti mendistraksi masyarakat dengan isu moralitas dan politik identitas.

Jika Negara terus menerus menggunakan hal ini untuk mendiskriminasi dan mengkambing hitamkan kelompok rentan, maka Indonesia akan semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan, kesenjangan dan instabilitas

Editor


Komentar
Banner
Banner