pelanggaran HAM

5 Kejanggalan Pengakuan Presiden Terhadap Pelanggaran HAM Berat Menurut YLBHI

Pengakuan Presiden RI Joko Widodo terhadap dua belas kejahatan HAM berat dinilai hanya lips service.

Featured-Image
Judgement Scale And Gavel In Judge Office (Foto: Istimewa)

bakabar.com, JAKARTA -Pengakuan Presiden RI Joko Widodo terhadap dua belas kejahatan HAM berat dinilai hanya buah bibir.

Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berpendapat, ada beberapa kejanggalan dalam tindakan ini. Salah satunya yakni tidak adanya keseriusan pengungkapan pelaku kejahatan kemanusiaan. 

Muhammad Isnur, Ketua YLBHI menjelaskan, jika upaya pengakuan ini tak akan ada artinya jika tidak ada transparansi penanganan.

“Jaksa Agung tidak menunjukkan keseriusan mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel oleh Kejaksaan Agung, setelah diselesaikannya 12  penyelidikan kasus oleh Komnas HAM,” ungkapnya pada Jumat (13/1).

Baca Juga: Komnas Catatkan Temuan Kekerasan Perempuan: Pelakunya Polisi dan TNI

Berikut lima kejanggalan yang dinilai YLBHI pengakuan Presiden hanya retorika;

Pertama

Dalam peristiwa Semanggi I dan II, meski belum dilakukan penyidikan, Jaksa Agung menyatakan kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat dan berujung pada gugatan oleh korban. 

Selain itu, satu-satunya kasus yang diproses ke penyidikan hanyalah Kasus Paniai. Kasus ini pun dijumpai adanya kejanggalan dan berakhir pada putusan bebas pada terdakwa tunggal. 

Kedua

Dalam pemerintahan Jokowi, alih-alih memutus impunitas melalui upaya  pengungkapan kebenaran dan memberikan keadilan dengan menyeret para pelaku ke pengadilan, pemerintah justru mengangkat terduga dan nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti Wiranto, Prabowo, Untung Budiharto dan lainnya diangkat dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer. 

Baca Juga: Sambo Tegas Soal Istrinya Alami Kekerasan Seksual

Ketiga

Terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah dalam proses persidangan seperti Kasus Paniai (2014), juga dalam berbagai penyelidikan yakni Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996,  Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), Pembunuhan Munir (2014),  tetapi Presiden tidak mengakui peristiwa-peristiwa tersebut dan tidak memasukkannya dalam bagian dari upaya penyelesaian. 

Empat

Pemerintah terus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam banyak kebijakan seperti di wilayah Papua maupun  saat menghadapi masyarakat yang menggunakan hak asasinya untuk berekspresi termasuk  berdemonstrasi di berbagai wilayah untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang inkonstitusional dan melanggar hak warga.

Baca Juga: Komnas Catatkan Temuan Kekerasan Perempuan: Pelakunya Polisi dan TNI

Sampai dengan hari ini,  pemerintah tidak juga segera menghentikan pendekatan dan praktik-praktik kekerasan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia warga negara  baik dilakukan oleh Pemerintah maupun melalui aparat represif negara seperti Kepolisian maupun TNI. 

Lima

Pernyataan Presiden Joko Widodo tidak mengiringi roadmap bagaimana penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan dilakukan. Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya justru akan menjadi  permasalahan baru.  

YLBHI berharap jika pengakuan oleh presiden ini agar diteruskan sebagai tindakan yang konkrit, bukan sekedar retorika. Isnur menegaskan, jika pemberian status hukum masih lebih penting hanya sekedar pengakuan.

Editor


Komentar
Banner
Banner