Wadas Melawan

Kasus Tambang Wadas, Ahli IPB: Bukti Kelindan Relasi Kekuasaan

Ahli Sosio Agraria & Ekologi Manusia IPB Rina Mardiana menyayangkan aksi represif polisi dalam menangani warga wadas yang menolak pertambangan andesit .

Featured-Image
Sebanyak 40 warga Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo ditangkap polisi pada Selasa, (8/2/ 2022). Foto-istimewa

bakabar.com, JAKARTA - Ahli Sosio Agraria & Ekologi Manusia IPB Rina Mardiana menyayangkan aksi represif kepolisian dalam menangani warga wadas yang menolak pertambangan andesit di desa mereka.

Diketahui warga menolak aktivitas pertambangan batuan andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener, di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Mereka menolak, karena pertambangan tersebut berdampak buruk terhadap lingkungan dan ruang hidup masyarakat.

Berkaca dari kasus yang terjadi, Rina menjelaskan, Desa Wadas merupakan situs yang mempertunjukkan kelindan relasi kekuasaan dan pertumbuhan ekonomi sehingga terjadi krisis sosio agraria lingkungan di tingkat tapak.  

Di Desa Wadas juga terlihat adanya mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan yang menggunakan instrumen kebijakan negara melalui pengerahan aparatur negara.

Baca Juga: IPL Sudah Habis, Gempadewa: Hentikan Penambangan Andesit di Desa Wadas

Dengan demikan bisa ditelaah sejauh mana dampak krisis sosio agraria lingkungan terhadap konflik sosial vertikal dan horizontal di masyarakat. Sebagai langkah awal, menarik untuk menyimak bagaimana pertambangan batuan andesit ditetapkan secara sepihak oleh negara.

"Saat itu, serentak warga Wadas yang bekerja di sektor pertanian, baik yang memiliki lahan pertanian ataupun tidak, seluruhnya tegas menyatakan penolakan atas tambang," ujarnya.

Sementara itu, pemerintah mencoba mengendalikan opini melalui media bahwa proyek tersebut berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan kehidupan warga sekitar.

Hanya saja, yang terjadi di lapangan, kegiatan tersebut telah menggerus sendi-sendi sosial kemasyarakatan warga Wadas. Hal itu terbukti dengan munculnya benturan antara kelompok pro dan kontra tambang di masyarakat Wadas.

Baca Juga: Klaim Ganjar: Konflik Megaproyek Bendungan Bener Wadas Selesai

"Sehingga konflik horizontal tak terhindarkan," kata Rina.

Strategi seperti itu, yakni memecah belah keguyuban warga Wadas yang awalnya merupakan satu kesatuan entitas sosial ternyata cukup ampuh. Menurut Rina, upaya semacam itu merupakan strategi kuno yang lahir dari era kolonial.  

Belakangan, semakin seringnya konflik vertikal dan konflik agraria muncul ke permukaan, menurut Rina, memberi dampak besar di masyarakat. Kini, rakyat tidak lagi percaya dengan kerja-kerja pemerintahan.

Konflik pada akhirnya telah memicu kontestasi antara negara dengan rakyatnya sendiri. Dimana negara menggunakan metode eksklusi sosial atau tindakan menyingkirkan individu atau komunitas dari sistem yang berlaku. Juga menggunakan modal kekuasaan kultural, kapitalistik, dan simbolik.  

Baca Juga: Warga Bentangkan Protes 'Save Wadas' Saat Ganjar Kunjungi Magelang

Sementara bagi warga Wadas, mereka akan terus berjuang melawan negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif komunal. Mereka menuntut ruang hidup yang aman dan nyaman seperti sebelumnya.

Hanya saja, ketika pemerintah melakukan penundukkan warga melalui kekuasaan, hal itu menunjukkan adanya peralihan kepemilikan lahan dari tangan rakyat ke negara.

"Warga yang takluk, selanjutnya disebut sebagai pihak pro. Sementara warga yang terus berjuang melawan potensi ancaman krisis agraria-lingkungan di tanah air mereka disemati stigma kontra," papar Rina.

Terkesan dalam hal ini, warga menilai para pemerintah layaknya penjajah. Jika itu yang terjadi, ungkap Rina, warga Wadas akan terus berjuang untuk mempertahankan ruang hidup di desanya.  

Editor


Komentar
Banner
Banner