Kejatuhan SVB

Indef Ungkap Alasan Kejatuhan Silicon Valley Bank

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan kronologi dibalik kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB).

Featured-Image
Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto. (Foto: Kumparan.com)

bakabar.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan alasan dibalik kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB). Kolapsnya bank yang berbasis di Santa Clara tersebut menjadi guncangan finansial terbesar di AS sejak 2008.

Indef menjelaskan kejatuhan salah satu bank terbesar di Amerika tersebut merupakan imbas dari kenaikan suku bunga acuan yang bersifat agresif.

“Dalam waktu satu tahun kenaikan suku bunga di amerika sangat akseleratif, sampai pada posisi hari ini 4,75 persen,” ujar Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto dalam diskusi publik 'SVB Kolaps, Ekonomi Indonesia Perlu Cemas?' secara Virtual, Kamis (16/3).

Kanaikan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral Amerika, The Fed, merupakan langkah antisipasi untuk menekan pertumbuhan tingkat inflasi.

Baca Juga: Penutupan SVB, Luhut : Tidak Berdampak ke Perbankan RI

Akibat tingkat inflasi yang melonjak, The Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Dampaknya terjadi penurunan pertumbuhan yang cukup dalam pada tingkat inflasi di Amerika.

“Dari yang tadinya 9 persen pada 2022, saat ini sudah menjadi 6 persen per Februari 2023,” jelasnya.

Di sisi lain, tidak semua sektor industri di Amerika cukup adaptif dalam menyikapi keputusan The Fed untuk menaikan suku bunga secara agresif.

Kasus SVB sebagai contoh bagaimana perbankan yang tidak adaptif menyikapi kenaikan suku bunga. Bank tersebut akhirnya kolaps dan mengalami penarikan deposito dalam jumlah besar.

Baca Juga: Penutupan SVB, OJK: Tidak Berdampak Langsung ke Bank di Indonesia

SVB diketahui menaruh banyak dana perusahaan dalam bentuk instrumen obligasi pemerintah. “Seolah-olah menyimpan dana di surat hutang pemerintah aman. Benar secara umum, tapi kalau kita menjual surat hutang pada saat suku bunga sedang tinggi itu harga obligasinya semakin murah,” terang Eko.

Hal tersebut yang kemudian menimbulkan kasus miss match antara jumlah dana milik kosumen dengan uang simpanan yang dimiliki oleh perbankan.

Kemampuan bank untuk memenuhi setiap penarikan uang yang dilakukan oleh nasabahnya akan semakin kurang. Itu karena perusahaan kekurangan likuiditas untuk mempertahankan dana yang tersedia.

Kerugian yang ditimbulkan akibat membeli surat utang pemerintah saat suku bunga naik menyebabkan SVB kehilangan banyak dana simpanan.

Baca Juga: Kejatuhan Silicon Valley Bank Selimuti Perdagangan Saham IHSG

“Di sisi lain, SVB ini sebagian besar kliennya berasal dari startup yang nabung disitu. Kebanyakan berasal dari perusahaan sektor teknologi,” imbuhnya.

Secara umum, para startup dan perusahaan teknologi melakukan IPO untuk mencari pendanaan baru. Hal itu menjadi pilihan karena perkembangan bisnis ditengah tingginya inflasi menjadi sulit.

Kondisi itu diperburuk dengan banyaknya investor yang hingga saat ini masih menahan dana untuk penyaluran modal ke perusahaan.

Baca Juga: Rabu Pagi, IHSG Diprediksi Variatif Seiring Melandainya Inflasi AS

“Kemudian yang dilakukan untuk mempertahankan diri adalah mengandalkan simpanannya yang ada di bank yang berdampak pada penurunan likuiditas perbankan,” ucap Eko.

Banyak perbankan di Amerika yang kemudian mengalami kejatuhan yang sama. Terbaru Signature Bank dan Credit Suisse yang tengah berjuang mengatasi kasus serupa SVB. Diperkirakan dalam waktu singkat dua bank itu akan mengalami kejatuhan.

Editor


Komentar
Banner
Banner