Hari Masyarakat Adat

Hari Masyarakat Adat Sedunia, BRWA Registrasi 1.336 Peta Wilayah Adat

Kepala BRWA Kasmita Widodo mengungkapkan advokasi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di Indonesia serta peran pemuda adat sangat strategis.

Featured-Image
Kepala BRWA Kasmita Widodo (kiri) memaparkan capaian status pengakuan wilayah adat di Indonesia dalam rangka memperingati hari Masyarakat Adat Sedunia di Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/8/2023). Foto: BRWA.

bakabar.com, JAKARTA - Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengungkapkan advokasi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di Indonesia serta peran pemuda adat sangat strategis.

Peran pemuda sangat diharapkan dalam pemetaan wilayah adat, advokasi kebijakan serta penerus pengelolaan wilayah adat berdasarkan budaya dan tradisi kearifan masyarakat adat.

Sementara itu, kondisi masyarakat adat masih termarginalisasi di wilayah adatnya karena pengakuan dan perlindungan wilayah adat masih jauh dari harapan masyarakat adat.

“Sampai saat ini, BRWA telah meregistrasi 1.336 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 26,9 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota,” kata Kasmita pada acara 'Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia', Rabu (9/8).

Baca Juga: Perdagangan Karbon, AMAN: Kolonialisme Baru bagi Masyarakat Adat

Dari 1.336 total wilayah adat teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektar atau sekitar 13,9 %.

"Masih ada sekitar 23,17 juta hektar wilayah saat ini yang belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah", ucap Kepala BRWA.

KLHK telah menerbitkan pengakuan 15 hutan adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah seluas 68.326 hektar. Sehingga total hutan adat yang sudah mendapat pengakuan sebanyak 123 Hutan Adat dengan luas mencapai 221.648 hektar.

Keputusan pengakuan hutan adat oleh KLHK, kata Kasmita, memang tidak mudah, karena harus diawali dengan pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) oleh pemerintah daerah.

Baca Juga: Festival Rimba: Mengenal Masyarakat Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik

Menurut Pasal 67 UU Kehutanan dan Pasal 234 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021, pengukuhan keberadaan MHA dalam Kawasan Hutan Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

"Disinilah sengkarutnya proses pengembalian hutan adat dari hutan negara," tegasnya.

Komitmen kepala daerah dan kapasitas pemerintah daerah masih rendah untuk membentuk Perda pengakuan masyarakat adat. Jika pun ada Perda, pelaksanaan verifikasi hingga pengukuhan masyarakat adat masih berjalan sangat lambat.

Begitu juga dengan KLHK yang masih terbatas dalam melakukan verifikasi usulan hutan adat. Rata-rata hanya sekitar 15 usulan hutan adat setahun yang dapat diverifikasi lapangan.

Baca Juga: Langgar Hak Masyarakat Adat, Organisasi Lingkungan Menggugat ke PTUN Jayapura

Selain itu, ungkap Kasmita, masih ada kegamangan untuk melakukan verifikasi usulan hutan yang berada di kawasan konservasi, seperti cagar alam, taman wisata alam dan taman nasional.

Sementara itu, terkait sektor pertanahan dan pengakuan hak ulayat masyarakat adat, Kementerian ATR/BPN belum mengalami kemajuan yang berarti. Alih-alih menegaskan wilayah adat sebagai hak ulayat masyarakat adat, justru akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat seperti yang diatur dalam PP Nomor 18/2021.

Hal itu, kata Kasmita, menunjukkan bahwa negara masih menterjemahkan hak menguasai negara secara eksesif. Padahal sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat.

Kebijakan negara menerbitkan HPL diatas wilayah adat justru berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yg telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun. Hal itu sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.

Baca Juga: Selamatkan Lingkungan, Masyarakat Adat Tuntut Pengakuan Pemerintah

Kepala Divisi Data dan Informasi BRWA, Ariya Dwi Cahya mengungkapkan analisis tutupan hutan di 1.336 wilayah adat, di dalamnya terdapat 12,9 hektar berupa hutan primer dan 5,37 juta hektar hutan sekunder. Pada areal hutan sekunder sudah cukup banyak dikelola oleh badan usaha yang mendapat Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari Pemerintah,

Selain itu, data profil masyarakata adat yang terhimpun di BRWA menyebutkan masyarakat adat memiliki relasi yang kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidupnya.

Kekuatan masyarakat adat dalam menjaga hutan berdasar tradisi dan budaya menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan yang tersisa, pemulihan degradasi hutan dari kepentingan bisnis, menekan laju perubahan iklim dan penyelamatan keanaragaman hayati.

Pemutusan hubungan masyarakat adat dengan hutan dan tanah leluhurnya karena kepentingan bisnis yang dikelola pemerintah atau diberikan pemerintah kepada badan-badan swasta akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya dan jati diri bangsa Indonesia.

Baca Juga: Minim Perlindungan, Masyarakat Adat Rentan Alami Kriminalisasi dan Intimidasi

“Untuk itu perlu kesungguhan pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga Pemerintah untuk menjalankan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia," terang Ariya.

Hal itu dapat dilakukan melalui Pengesahan RUU Masyarakat Adat dan pengalokasian anggaran yang memadai dalam proses pengakuan masyarakat adat melalui anggaran pemerintah pusat dan daerah.

Editor
Komentar
Banner
Banner