bakabar.com, JAKARTA - Saat ini ada perbedaan yang sangat mencolok dalam memandang hutan sebagai sebuah ekosistem. Bagi korporasi, hutan tak ubahnya sebagai wilayah komodifikasi atau perubahan nilai dan fungsi dari suatu barang atau jasa yang menjadi komoditi (memiliki nilai ekonomi).
Karena itu, hutan saat ini di mata pengusaha tak ubahnya sebagai sebuah komoditas. Sebagai modal utama ketika hendak melakukan perdagangan karbon.
Hal itu berbeda dengan cara pandang masyarakat adat yang melihat hutan sebagai satu kesatuan ruang hidup. Dengan begitu, hutan harus dipertahankan karena memiliki peran yang lebih dari sekedar tempat untuk mencari sumber pangan.
Hal itu sejalan dengan data badan pangan dunia (FAO) yang menyebut sebanyak 80% masyarakat adat hidup di dalam kawasan hutan.
Baca Juga: Perdagangan Karbon, WALHI: Jawaban Krisis Iklim Sarat Masalah Etik
Sementara kaitannya dengan perdagangan karbon, Direktur Advokasi PB AMAN Muhammad Arman menerangkan kebijakan itu sedikit banyak akan mempengaruhi nasib masyarakat adat di masa depan.
Kebijakan perdagangan karbon, menurut Arman, seakan menegaskan pilihan pemerintah dalam mencari keuntungan, bahkan di tengah krisis yang sedang terjadi. Terbukti, sejak 10 tahun terakhir, moralitas hukum didirikan alih-alih sebagai landasan bijak, namun justru bertentangan dengan keberpihakan terhadap masyarakat adat.
"Ada masalah etik dalam kebijakan yang merugikan petani, nelayan dan hak-hak warga," tegas Arman pada konferensi pers Walhi terkait perdagangan karbon di Jakarta, Jumat (4/8).
Menurut Arman, kebijakan pemerintah mengenai perdagangan karbon terangkum di dalam peraturan presiden tentang nilai ekonomi karbon dan peraturan menteri LHK tentang skema penanganan karbon.
Baca Juga: Perluas Kerja Sama, OJK dan KLHK Dukung Perdagangan Karbon
Merujuk pada perpres, kata Arman, pengurus negara telah melupakan satu entitas penting yang turut andil dan memiliki kontribusi besar dalam menjaga hutan.
"Karbon itu kan lahir dari sekumpulan hak. Kalo di sana ada tanah adat, di atasnya tumbuh hutan adat, makan karbon yang dihasilkan juga menjadi bagian dari masyarakat adat," paparnya.
Lebih jauh, ungkap Arman, kebijakan tersebut menjadi upaya bagi pemerintah untuk mengambil alih hutan-hutan milik masyarakat adat. Hal itu terlihat dari semakin berkurangnya luas hutan adat.
"Hutan itu kan milik masyarakat adat. Dasarnya jelas ada, keputusannya ada di Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012," jelasnya.
Baca Juga: Perdagangan Karbon Kliring, Menko Airlangga: Mekanisme Melalui SRG
Dalam kasus ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara telah melakukan satu upaya hukum. Sayangnya, terang Arman, upaya mereka ditolak oleh Mahkamah Agung.
Hal itu dikarenakan pemerintah telah melibatkan masyarakat adat dalam perumusan kebijakan terkait perdagangan karbon. Padahal pada kenyataannya, lanjut Arman, masyarakat adat hanya diundang melalui email tidakresmi atau secara tidak langsung saat ada pembicaraan terkait itu.
"Menurut saya ini adalah proses yang tidak patut, secara etik dan moral pun sudah jauh sekali" tegas Arman.
Karena itu, Arman menganggap hal yang dilakukan pemerintah dengan mengamini karbon sebagai mekanisme pasar adalah bentuk kolonialisme baru. Karena itu harus dilawan.
"Di tengah-tengah kekrisisan ini, pemerintah harusnya melakukan rekonsiliasi dengan masyarakat adat, bukan rekolonialisasi," tutupnya.