bakabar.com, JAKARTA - Denny Indrayana kurang sreg dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Mestinya MKMK tak hanya mencopot Anwar Usman, tapi juga memberhentikannya.
"Saya dapat memahami, menghormati, tetapi pada saat yang sama juga menyesalkan putusan MKMK," jelas Denny, Rabu (8/11).
Baca Juga: MKMK Tutup Peluang Banding untuk Paman Gibran
Memahami, maksud Denny, karena Majelis Kehormatan punya keterbatasan kewenangan. Menyesalkan, mengingat, Profesor Jimly Asshiddiqie melepaskan kesempatan mengukir sejarah membuat putusan monumental atau landmark decision.
"Landmark decision ini yang bisa menegakkan kembali hukum Indonesia yang seharusnya bermoral dan berkeadilan," jelasnya.
Baca Juga: MKMK Tak Bisa Ubah Putusan Syarat Cawapres Meski Hakim Langgar Etik
Jika ada orang yang mempunyai kompetensi untuk menghadirkan keadilan konstitusional, menurutnya sosok itu adalah Profesor Jimly Asshiddiqie bersama-sama dengan Profesor Bintan R. Saragih dan Doktor Wahiddudin Adams.
"Karena itu, saya bersyukur dan menaruh harapan besar ketika mengetahui Profesor Jimly diberi amanah sebagai Ketua MKMK," jelasnya.
Kapasitas-intelektual Profesor Jimly jelas mumpuni. Integritas-moralnya, sebut dia, nyata tidak terbeli. Sayangnya, putusan MKMK masih terjebak. Hanya menghadirkan keadilan normatif, tetapi gagal melahirkan keadilan substantif.
Baca Juga: DPR Apresiasi Putusan MKMK Soal Pencopotan Paman Gibran
"Sebenarnya hanya dibutuhkan inovasi hukum, dan sedikit bumbu keberanian, untuk menghadirkan solusi yang lebih efektif dan konstruktif," jelasnya.
Menurutnya, pasca-putusan 90 yang menguntungkan Gibran, hukum saat ini sedang tidak sudah baik-baik saja.
"Hukum kita sudah sakit parah-sekarat. Menyembuhkannya tidak bisa dengan 'pengobatan' biasa-biasa saja," jelasnya.
Sayangnya, sambung Denny, MKMK masih melakukan tindakan pengobatan biasa. Atau, membiarkan 'penyakit kanker' hukum yang koruptif, kolutif, dan nepotis, tetap hidup dan tumbuh subur-menjalar, merusak sendi-nadi Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
MKMK Seharusnya Pecat Anwar
Karena alasan menghindari banding, MKMK memilih hanya memberhentikan Anwar Usman dari posisi sebagai Ketua MK. Padahal aturannya dengan jelas-tegas mengatakan pelanggaran etika berat sanksinya hanyalah pemberhentian dengan tidak hormat.
"Lagipula ada konsep hukum acara, uitvoerbaar bij voorraad, putusan bisa tetap dijalankan lebih dulu meskipun ada upaya hukum banding," jelasnya.
Putusan MKMK yang demikian dipandang setengah jalan, kata Denny, separuhnya lagi tergantung kesadaran Anwar Usman.
"Setelah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat, yaitu melanggar Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, masih adakah sisa harga diri dan rasa malunya untuk bertahan," jelasnya.
Akan lebih pas, menurutnya, jika Anwar Usman tahu diri dan mundur sebagai hakim konstitusi. Meskipun ia yakin tindakan yang terhormat demikian takkan akan dilakukan.
MKMK tidak tegas
Dengan berlindung pada asas final and binding, MKMK membiarkan Putusan 90 yang dinyatakan lahir dari berbagai pelanggaran etika hakim konstitusi Anwar Usman tetap berlaku dan tidak mempengaruhi proses pendaftaran Pilpres 2024.
Dari sana MKMK mengisyaratkan akan ada putusan atas permohonan baru terkait syarat umur capres-cawapres yang akan disidangkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga: MKMK Pecat Anwar Usman dari Ketua MK, Begini Respon Gibran
Padahal, kata Denny, setiap asas hukum bukan kitab suci yang harus diberhalakan, apalagi dipertuhankan. Hukum selalu membuka ruang pengecualian, "exceptio probat regulam in casibus non exceptis", the exception confirms the rule in cases not excepted. There is an exception to every rule.
"Selalu ada pengecualian atas setiap prinsip hukum," jelasnya.
Maka, jikapun tidak bisa menyatakan Putusan 90 tidak sah, paling tidak MKMK menyatakan dengan tegas dalam amarnya agar Mahkamah Konstitusi memeriksa kembali perkara 90 dengan komposisi hakim yang berbeda.
"Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sebelum berakhir masa penetapan paslon Pilpres 2024 oleh KPU. Hal itu penting, justru untuk membuat pencawapresan Gibran Rakabuming Raka tidak terus dipersoalkan karena hadir dari hasil putusan MK yang telah dinyatakan melanggar etika," jelasnya.
Menurutnya, menyatakan pertandingan Pilpres 2024 sudah dimulai dan aturan syarat tidak boleh lagi diubah adalah bentuk ketidakadilan. Karena Putusan 90 sengaja dilakukan jauh terlambat, menjelang masa pendaftaran paslon.
"Maka, hanya menjadi fair, jika politisasi kelambatan waktu putusan 90 itu diseimbangkan dengan percepatan Putusan 90 tanpa hakim Anwar Usman yang melanggar etika," jelasnya.
Baca Juga: Prabowo Enggan Komentari Putusan MKMK Soal Etik Hakim Konstitusi
Denny bersama Zainal Arifin Mochtar sudah memasukkan uji formil atas Putusan 90, jika saja ada niat, maka tak sulit untuk MK memeriksa cepat formalitas uji syarat umur capres-cawapres, dan memutuskan sebelum batas penetapan paslon capres-cawapres oleh KPU di 13 November 2023.
"Hanya dengan demikian maka legitimasi konstitusional dan soal keabsahan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka bisa dituntaskan," jelasnya.
Membiarkan Putusan 90 tetap berlaku, tanpa membuka ruang pemeriksaan kembali, padahal ada putusan MKMK yang mengatakan putusan itu lahir dari pelanggaran etika Anwar Usman akan menyebabkan legitimasi pencawapresan Gibran akan terus-menerus dipersoalkan.
Baca Juga: Ada Putusan MKMK, Berikut Rekayasa Lalu Lintas di Lokasi
"Bahkan membuka ruang impeachment, jikapun terpilih pada Pilpres 2024 yang akan datang," jelasnya.
"Hukum tanpa moralitas, tidak ada artinya, dan karenanya batal demi hukum," jelasnya lagi.
Jadi, putusan MKMK belum tuntas menyelesaikan masalah. Masih menimbulkan komplikasi masalah akibat solusi hukum yang setengah hati.
Baca Juga: Eks Ketua MK Prihatin: Anwar Usman Harusnya Malu!
"Sebagai satu-satunya pelapor yang mengajukan laporan jauh sebelum putusan 90 dibacakan, saya akan terus bersuara kritis atas pemanfaatan hukum oleh tangan-tangan kuasa dinasti yang terus cawe-cawe dalam Pilpres 2024," paparnya.
Jika sedari awal proses pencalonan tidak dipastikan berjalan dengan benar, Denny pesimistis proses selanjutnya dan hasil Pilpres 2024 juga akan berjalan dengan jujur dan adil.
"Karena itu, setelah putusan MKMK ini, setelah bersama-sama Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil Putusan 90 ke MK, saya mempertimbangkan untuk menggugat pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif, ini ke sengketa proses di Badan Pengawas Pemilu RI," jelasnya.