Di Lampung, sekelompok pengunjuk rasa melempari gedung DPRD setempat, Rabu (7/10/2020). Para pengunjuk rasa leluasa masuk ke halaman DPRD lalu melempari gedung dengan batu dan benda lain.
Aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja juga terjadi di Makassar, Sukabumi, Bandung, Semarang, Surabaya, Jakarta, Banjarmasin dll.
Selain kalangan buruh, mahasiswa dan pelajar, sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi ternama di Tanah Air juga keberatan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan DPR pada rapat paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja, di Gedung DPR, Jakarta Senin (5/10/2020) pada tengah malam.
Akademisi dari berbagai pergurunan tinggi ternama di tanah air menilai pengesahan UU Ciptaker oleh DPR terburu-buru.
“Mengapa UU Ciptaker yang prosedur dan materinya, yang muatannya banyak bermasalah harus terburu-buru disahkan? Bahkan, menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri yang terhormat,” ujar perwakilan dari akademisi, Prof Susi Dwi Harijanti, dalam pernyataannya yang disiarkan secara daring di Jakarta, Rabu (7/10/2020), sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, Kamis (8/10/2020).
Baca Juga : BREAKING NEWS: Situasi Terkini Demo Anti-Omnibus Law di Banjarmasin
Guru Besar Universitas Padjadjaran itu mengatakan pernyataan sikap para guru besar, dekan maupun akademisi itu, merupakan bentuk tanggung jawab kaum akademik dan intelektual.
Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam. Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.
“Pengesahan pada tengah malam itu menjungkirbalikkan perspektif publik pada gambaran kerja DPR dan pemerintah pada pembentukan UU. Biasanya DPR dan pemerintah lamban dalam membuat UU, bahkan UU yang jelas-jelas dibutuhkan oleh rakyat malah ditunda pembahasannya,” tuturnya.
Dia menambahkan, saat UU tersebut masih berbentuk draf banyak yang mengkritik. Akan tetapi, pembuat UU bergeming. Padahal berdasarkan UU, partisipasi publik wajib dilibatkan dalam penyusunan aturan.
“Lalu dianggap apa partisipasi publik. Apakah tidak ingin mendengarkan suara kami, sebagai pemegang kedaulatan? Jadi untuk siapa sebenarnya UU ini, jika rakyat tidak didengar,” imbuh dia.
Susi menambahkan, bagaimana relasi antara buruh dan perusahaan dapat berjalan adil, jika buruh diwajibkan mematuhi peraturan yang dibentuk perusahaan.
“Jangankan hak manusia, hak lingkungan hidup pun diabaikan,” katanya.
Dia memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), para menteri, dan semua tim yang terlibat dalam pembentukan UU Ciptaker untuk mendengarkan masukan dari rakyat yang disampaikan para akademisi.
“Kami tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah demoralisasi dan korupsi yang meluas akibat dibuatnya UU Ciptaker,” tutupnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zainal Arifin Mochtar menilai, UU Ciptaker dibuat dengan cara tidak transparan. Publik dan sebagian lembaga negara tidak mendapatkan naskah RUU Ciptaker, tapi tiba-tiba RUU itu sudah ada di DPR.
“Kita tidak bisa mengakses sama sekali. Padahal, partisipasi dan sosialisasi tidak bisa dilepaskan dari konteks penyusunan aturan,” kata Zainal, Rabu (7/10).
Zainal juga menilai, penyusunan UU tersebut, sama sekali tidak melibatkan publik. Padahal, Omnibus Law Cipta kerja memuat 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal dari belasan klaster.
“Proses pengayaan wacana di dalamnya tidak ada, padahal 11 klaster yang ada memiliki logika dan paradigma yang berbeda. Bagaimana digabung dalam satu konteks dan dilakukan secara cepat,” tambah dia.
Editor : El Achmad