Nasional

Viral Video Pengunjuk Rasa Tendang Balik Tabung Gas Air Mata ke Arah Polisi : Best Moments is Real! Most Epic Volley

apahabar.com, BANJARMASIN – Video aksi seorang pengunjuk rasa menendang balik tabung gas air mata ke arah…

Featured-Image
Video aksi pengunjuk rasa menendang balik tabung gas air mata ke arah petugas saat demo menolak pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa 7 Oktober (screenshot/twitter@NetizenKardus)

bakabar.com, BANJARMASIN – Video aksi seorang pengunjuk rasa menendang balik tabung gas air mata ke arah polisi pada aksi demo menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa (7/10/2020), viral di media sosial.

Layaknya pemain bola profesional, pengunjuk rasa dalam video tersebut lewat aksi first time menendang kembali tabung gas air mata yang ditembakan ke arah petugas keamanan.

Setelah terkena tendangan voli dengan kekuatan kaki yang luar biasa tersebut, tabung gas air mata itu kembali melayang ke arah petugas.

Sang pengunggah video di twitter bahkan melabeli video tersebut dengan tulisan Best Moments is Real! Most Epic Volley

“Best Moments is Real! Most Epic Volley. Itu yang melakukannya anak STM atau Mahasiswa (emoticon)” tulis @NetizenKardus.

Namun pengunggah tidak menyebutkan di mana lokasi unjuk rasa yang ada di dalam video terseut.

Baca juga : Viral Video Detik-detik Puan Maharani Diduga Matikan Mic Irwan Fecho di Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja

Baca juga : Viral Video Detik-detik Puan Maharani Diduga Matikan Mic Irwan Fecho, Masinton Pasaribu PDIP : Mic Mati Otomatis

Sejak diunggah pada Rabu (7/10/2020) pukul 12.38 WIB, video tersebut telah mendapat 38,3 ribu likes, 1,7 ribu quote tweets dan 13.9 ribu retweet.

Para netizen pun menyampaikan tanggapan beragam atas video unik yang diunggah @NetizenKardus tersebut. Sebagian netizen mengunggah kembali pernyataan terkenal aktivis Wiji Tukul.

‘Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!” – Wiji thukul” tulisa @achilaayla, disertai sejumlah hashtag penolakan.

“Haluuuh ngeri cuk, tendangan si madun (emoticon tertawa),” tulis @anfalfrdhnsyh

‘DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT, UNTUK RAKYAT.’ tulisa @KrnDs2 disertai hashtag :
#MahasiswaBergerak, #StopRugikanRakyat, #TolakOmnibusLaw, #TolakRUUCiptaKerja, #JEGALHINGGABATAL, #MosiTidakPercayaDPRRI, #DPRRIPENGKHIANATRAKYAT, #KembalikanHakMasyarakat, #TolakRUUCiptaker, #GagalkanDPR, #TumpasHinggaTuntas.

Sementara itu, @Chanssss__ menulis : “Heboh banget ama yg baru disahkan. Kok gw ngerasanya emang orang kita tuh gak mau kerja maunya dpt duit dan enaknya aja. Coba dibaca dulu lah jangan mau di flaming”

Demo Menolak UU Cipta Kerja

Aksi unjuk rasa dan demontrasi penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja terjadi di berbagai daerah di tanah air sejak DPR mengesahkannya, Senin (5/10/2020).

Di sejumlah daerah aksi unjuk rasa dari kalangan buruh, mahasiswa dan diikuti pelajar berlangsung ricuh. Para pengunjuk rasa bentok dengan aparat kepolisian.

Di Lampung, sekelompok pengunjuk rasa melempari gedung DPRD setempat, Rabu (7/10/2020). Para pengunjuk rasa leluasa masuk ke halaman DPRD lalu melempari gedung dengan batu dan benda lain.

Aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja juga terjadi di Makassar, Sukabumi, Bandung, Semarang, Surabaya, Jakarta, Banjarmasin dll.

Selain kalangan buruh, mahasiswa dan pelajar, sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi ternama di Tanah Air juga keberatan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan DPR pada rapat paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja, di Gedung DPR, Jakarta Senin (5/10/2020) pada tengah malam.

Akademisi dari berbagai pergurunan tinggi ternama di tanah air menilai pengesahan UU Ciptaker oleh DPR terburu-buru.

“Mengapa UU Ciptaker yang prosedur dan materinya, yang muatannya banyak bermasalah harus terburu-buru disahkan? Bahkan, menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri yang terhormat,” ujar perwakilan dari akademisi, Prof Susi Dwi Harijanti, dalam pernyataannya yang disiarkan secara daring di Jakarta, Rabu (7/10/2020), sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, Kamis (8/10/2020).

Baca Juga : BREAKING NEWS: Situasi Terkini Demo Anti-Omnibus Law di Banjarmasin

Baca Juga : Aksi Demonstrasi Tolak UU Omnibus Law Sempat Memanas, Polisi Pasang Kawat Berduri di Depan Kantor DPRD Kalsel

Guru Besar Universitas Padjadjaran itu mengatakan pernyataan sikap para guru besar, dekan maupun akademisi itu, merupakan bentuk tanggung jawab kaum akademik dan intelektual.

Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam. Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.

“Pengesahan pada tengah malam itu menjungkirbalikkan perspektif publik pada gambaran kerja DPR dan pemerintah pada pembentukan UU. Biasanya DPR dan pemerintah lamban dalam membuat UU, bahkan UU yang jelas-jelas dibutuhkan oleh rakyat malah ditunda pembahasannya,” tuturnya.

Dia menambahkan, saat UU tersebut masih berbentuk draf banyak yang mengkritik. Akan tetapi, pembuat UU bergeming. Padahal berdasarkan UU, partisipasi publik wajib dilibatkan dalam penyusunan aturan.

“Lalu dianggap apa partisipasi publik. Apakah tidak ingin mendengarkan suara kami, sebagai pemegang kedaulatan? Jadi untuk siapa sebenarnya UU ini, jika rakyat tidak didengar,” imbuh dia.

Susi menambahkan, bagaimana relasi antara buruh dan perusahaan dapat berjalan adil, jika buruh diwajibkan mematuhi peraturan yang dibentuk perusahaan.

“Jangankan hak manusia, hak lingkungan hidup pun diabaikan,” katanya.

Dia memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), para menteri, dan semua tim yang terlibat dalam pembentukan UU Ciptaker untuk mendengarkan masukan dari rakyat yang disampaikan para akademisi.

“Kami tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah demoralisasi dan korupsi yang meluas akibat dibuatnya UU Ciptaker,” tutupnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zainal Arifin Mochtar menilai, UU Ciptaker dibuat dengan cara tidak transparan. Publik dan sebagian lembaga negara tidak mendapatkan naskah RUU Ciptaker, tapi tiba-tiba RUU itu sudah ada di DPR.

“Kita tidak bisa mengakses sama sekali. Padahal, partisipasi dan sosialisasi tidak bisa dilepaskan dari konteks penyusunan aturan,” kata Zainal, Rabu (7/10).

Zainal juga menilai, penyusunan UU tersebut, sama sekali tidak melibatkan publik. Padahal, Omnibus Law Cipta kerja memuat 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal dari belasan klaster.

“Proses pengayaan wacana di dalamnya tidak ada, padahal 11 klaster yang ada memiliki logika dan paradigma yang berbeda. Bagaimana digabung dalam satu konteks dan dilakukan secara cepat,” tambah dia.

Editor : El Achmad

Komentar
Banner
Banner