bakabar.com, JAKARTA– Harap-harap cemas menghantui Lukas, penjual celana eceran di Pasar Senen, tatkala dirinya membuka gombalan kuning bertuliskan HJ Trading. Mata sayunya yang semula berbinar, berubah menjadi frustasi, manakala yang dia lihat tak sesuai ekspektasi.
"Ya, begitulah risiko thrifting. Untung-untungan," ucap pria asal Medan yang membuka thrift shop sejak 2019 itu.
Thrifting sendiri merupakan sebuah usaha yang menjual barang-barang bekas, baik dari luar maupun dalam negeri. Barang yang dijual pun beragam, mulai dari pakaian, sepatu, tas, sampai jam tangan.
Tren ini mulanya hanya menyentuh segmen kelas bawah sampai menengah, yang biasa disebut 'elit', alias akronim dari ekonomi sulit. Mereka yang ingin bergaya necis dengan dompet tipis, umumnya memburu pakaian jenis ini.
Untuk Lukas sendiri, dirinya mengaku, membeli satu ball celana bekas impor seberat 100 kilogram dengan harga Rp7,7 juta. Satu ball itu, kata dia, bisa memuat 150 – 180 potong celana seken bermerek kelas atas.
Tak semua celana yang dia dapatkan berkualitas bagus, dalam artian tanpa cacat sedikit pun. Kendati demikian, Lukas tetap menjajakan barang-barang tersebut yang sekiranya masih layak jual, tentunya dengan harga miring.
"Celana yang 'cacat' itu diobral lagi. Harganya mulai Rp25.000-an," ungkapnya dengan logat khas Batak.
Lukas menuturkan, dirinya tak pernah kesulitan untuk mendapat pasokan celana bekas layak pakai. Sebab, di tempatnya berjualan, yaitu Pasar Senen, terdapat sejumlah pemasok barang thrift impor.
Salah satunya adalah Ryan Jabat, yang sudah membuka usaha grosir pakaian seken sejak 2013, bertepatan dengan kali pertamanya tren thrifting masuk ke Indonesia. Pakaian yang dia jual itu diimpor dari Korea Selatan, Jepang, dan Cina.
"Ini (pakaian bekas) sebenarnya sisa-sisa dari pabrik atau apartemen di sana (negara asal pengekspor). Di sana, kan, buang sampah harus bayar. Jadi, daripada dibuang, dikirim ke sini untuk dijual," kata dia.
Ya, thrift sejatinya adalah sampah pakaian dari luar negeri. Recycle rate rendah alias sulit didaur ulang, membuat komoditas ini menjadi masalah dunia yang telah mengakar. Hal inilah yang juga memicu maraknya perdagangan thrift antarnegara.
Fenomena itu menjadi bukti nyata atas buruknya tata kelola sampah di Indonesia. Padahal, negeri ini sudah jelas-jelas memiliki regulasi soal larangan mengimpor sampah, jika syarat dan ketentuan yang berlaku tak dipatuhi. Lantas, bagaimana bisa, negara yang membantu mengurangi sampah negara lain, justru harus mengeluarkan uang?
Mengintip Sedikit Fenomena Thrift di Luar Negeri
Indonesia sebenarnya bukan satu-satunya negara yang ramai akan fenomena thrift. Sederet artis Hollywood, misalnya, kedapatan mengenakan pakaian seken.
Bedanya, thrift di Negeri Paman Sam itu tidak sampai mengimpor dari luar negeri. Orang berada yang biasanya sudah bosan dengan pakaiannya, bakal menjual kembali dengan cara lelang, atau dikenal dengan sebutan preloved.
Alasan lain yang membuat negara di luar Indonesia tak jadi surganya thrift ialah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Prinsip tersebut disebut polluters paying, di mana produsen sampah mesti membayar untuk mengekspor.
Meneropong Masa Depan Thrift di Indonesia
Meski pakaian thrift sebenarnya adalah sampah, tren ini masih digandrungi masyarakat Indonesia, utamanya kalangan muda. Industri fesyen bekas ternyata mampu bersaing dengan industri pakaian besar lainnya.
Kecenderungan anak muda yang tak ingin 'ketinggalan' tren fesyen terkini, membuat mereka melakukan berbagai cara. Termasuk, membeli sampah pakaian bekas keluaran brand ternama. (Nurisma)