bakabar.com, JAKARTA - Mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Teddy Minahasa dalam pledoinya memohon kepada hakim agar membebaskannya dari hukuman mati. Baginya hukuman mati tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan dari Kuasa Hukumnya Hotman Paris yang turut meminta majelis hakim untuk melihat kembali tuntutan yang telah dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus peredaran narkotika yang menyeret kliennya.
"Memohon agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini di membebaskan terdakwa Teddy Minahasa Putra dari segala tuntutan hukum," kata penasihat hukum Teddy, Hotman Paris dalam keterangannya, Kamis (13/4).
Baca Juga: Hari Ini, Teddy Minahasa Akan Baca Pleidoi Atas Tuntutan Hukuman Mati
Menurutnya, tuntutan mati terhadap Teddy bertentangan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya (UU Nomor 1976).
"Bahwa di dalam single convention on narcotic drugs 1961 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 8 Tahun 1976 telah diatur bahwa pengedar pelanggaran berat dalam kasus narkotika hukum maksimalnya adalah penjara, tidak boleh hukuman mati," ujar Hotman.
Hotman menyebut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 menjadi awal lahirnya Undang-undang terkait narkotika yang berlaku saat ini yakni Undang-undang Nomor 35 tahun 2009.
Baca Juga: Teddy Minahasa Sebut Tak Mungkin Pertaruhkan Jabatan dengan Jual Sabu
Dalam sidang pembacaan pleidoinya itu, Teddy Minahasa juga meminta agar majelis hakim memulihkan nama baik, harkat, dan martabatnya seperti sedia kala.
sebelumnya, Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Teddy dengan hukuman pidana mati lantaran dinilai secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan peredaran narkoba secara ilegal.
Tindak pidana itu dilakukan Teddy bersama AKBP Dody Prawiranegara, Linda Pujiastuti, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Parluhutan Situmorang, Muhammad Nasir, dan Syamsul Maarif.